Jakarta –
Pemerintah menargetkan mencapai net zero emisi (NZE) atau net zero emisi pada tahun 2060. Khususnya di industri otomotif, banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi emisi. Selain itu, Indonesia dinilai gagal mencapai target hybrid pada tahun 2025.
Dr. Alloysius Joko Purwanto, peneliti energi di ASEAN dan East Asian Economic Research Institute (ERIA) mengatakan “Kami melihat target emisi, ada satu hal yang perlu kami jelaskan: kami memang gagal mencapai tujuan tahun depan yaitu 2025,” kata Dr. Sementara baru-baru ini berbincang dengan detikOto di Jakarta Selatan.
Sebelumnya pada Keputusan Presiden No. 79 Tahun 2014 menargetkan kombinasi energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia mencapai 23% pada tahun 2025. Namun Dewan Energi Nasional (DEN) melaporkan bahwa rencana bauran EBT tahun 2025 direvisi dari 17 menjadi 19 persen.
Dilansir situs Kementerian Energi, Sumber Daya, dan Mineral (ESDM), komposisi EBT dalam bauran energi tanah air masih lambat, diperkirakan sebesar 13 hingga 14 persen pada tahun 2025.
Joko melanjutkan, dampak penggunaan kendaraan listrik akan menurunkan emisi jika EBT di Indonesia tetap di bawah 20 persen, meski kendaraan listrik sudah digunakan 100 persen. Penurunan CO2 tidak mengalami penurunan.
“Studi ERIA yang kita lakukan (di) institusi tempat saya bekerja menunjukkan bahwa bauran energi, tenaga listrik masih sama seperti sekarang, jadi 60% masih batu bara, jadi EBT-nya masih di bawah 20%, kalaupun kita penjualan mobil listrik bisa mencapai 100 persen, “Penurunannya (gas rumah kaca) masih di bawah satu persen,” ujarnya.
“Ada dampak nyatanya. Pasokan bensin berkurang, atau kualitas udara perkotaan menurun. Tapi (mengurangi) CO2 secara total hampir tidak ada gunanya,” kata Joko.
Banyak produsen mobil asal Jepang, Korea, China, Vietnam, dan Eropa yang bersaing dengan berbagai kendaraan listrik, mulai dari kendaraan listrik, plug-in hybrid hingga battery electric vehicle (BEV).
BEV ternyata merupakan salah satu teknologi yang didukung pemerintah melalui berbagai kebijakan pendukung. Namun mobil listrik di Indonesia masih jauh dari tujuan. Peralihan industri otomotif dari kendaraan konvensional ke kendaraan listrik masih dinilai masih menjadi sebuah tantangan.
Secara khusus, tujuan road to battery electric vehicle banyak tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 28 Tahun 2023 yang membahas tentang spesifikasi, perkembangan, dan regulasi perhitungan peralatan listrik rumah tangga untuk listrik berbasis baterai. motor baterai. Mobil.
Dalam aturan tersebut, produksi mobil listrik ditargetkan mencapai 400 ribu unit dan 6 juta unit sepeda motor listrik pada tahun 2025. Produksi akan meningkat pada tahun 2030, menurutnya akan mencapai 600 ribu unit kendaraan listrik dan sembilan juta unit listrik. sepeda motor. Pada tahun 2035, Indonesia diperkirakan akan memproduksi satu juta unit mobil listrik dan 12 juta unit sepeda motor listrik.
Di sisi lain, hukum ekonomi penawaran dan permintaan tidak bisa diabaikan. Mobil listrik hanyalah salah satu dari banyak inovasi energi terbarukan.
“Iya, menurut riset yang kita lakukan, khususnya kebijakan energi tahun 2019, untuk mencapai target emisi transportasi tahun 2030, jawabannya adalah ‘no single solution’. Tidak ada jawabannya,” kata Guru Besar Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada. (UGM). Deendarlianto sekaligus Bioetanol, Biofuel dan Potensinya di Indonesia.
Selain industri mobil listrik, pemerintah Indonesia harus mendukung penggunaan bioetanol dan biofuel.
“Sebenarnya Brazil sudah berhasil menggunakan E100, tapi kalau dilihat dari konstruksi mesinnya sendiri, berbeda juga. Bisnis akan berjalan. Kalau kebijakannya bagus, bisnis akan terjadi, bisnis akan terjadi di sana, katanya.
Penggunaan biofuel untuk solar dan bioetanol untuk bensin dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan mengurangi emisi karbon akibat proses pembuangan kendaraan.
Namun penggunaan biofuel dan bioetanol untuk kebutuhan energi harus dipertimbangkan secara matang. Alih-alih mencapai NZE, justru berdampak pada ketahanan pangan.
Artinya yang perlu dilakukan dari sisi ekonomi adalah supply dan demand, kata Deen.
Senada dengan hal tersebut, Joko menambahkan bioetanol dan biofuel merupakan energi terbarukan yang perlu ditingkatkan meskipun masih ada pekerjaan rumah terutama dari segi bahan bakunya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kemampuan pabrikan dalam memperbarui teknologi.
“Sulit mencampur biodiesel di atas 40%, mungkin 50%, tapi sulit sekali, harus ganti mesin, klep dan semuanya. Mungkin perlu angkut truk tambang, pabrik di luar kota,” kata Joko.
“Bioetanol juga menjadi tantangan, kita kesulitan mendapatkan bahan baku bioetanol dengan harga yang cukup. Saat ini di Surabaya, Jawa Timur dari molase.
Indonesia punya potensi, tapi bioetanol generasi kedua yaitu sorgum, sawit, padi, tapi kendalanya mesinnya belum tersedia. Enzimnya masih sangat mahal, masih dalam tahap penelitian, jelasnya. .
Di sisi lain, hidrogen merupakan teknologi yang tidak boleh dibuang begitu saja. Deen mulai meneliti hidrogen. Penelitian ini bersifat kolaboratif dan didanai oleh pemerintah dan beberapa organisasi komersial.
Selain itu, UGM juga didukung oleh universitas lain seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Nanyang Technological University (NTU) dan University of Groningen di Belanda.
Tujuan utama penelitian ini terkait dengan produksi hidrogen herbal. Merek ini terbuat dari ramah lingkungan.
Meski prosesnya rumit, penelitian hidrogen akan memberikan banyak manfaat di masa depan. Tidak hanya digunakan sebagai listrik, hidrogen juga dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain, seperti industri, transportasi, dan listrik.
Setelah itu dilakukan daur ulang bahan bakar (BBG) di Jakarta. Meski demikian, Deen menekankan perlunya pendidikan masyarakat yang berkualitas.
“Kesadaran BBG terhadap literasi kesehatan masih rendah. Ini masalah penting. Ketika lapangan kerja tercipta, kesadaran literasi kesehatan harusnya (terus menerus), BBG (pemahaman) masih rendah. Ini salah satu permasalahan utama,” Deen dikatakan.
“Ketika pemerintah mengumumkan pada tahun 2031 kita akan mulai masuk ke hidrogen. Pengetahuan masyarakat tentang hidrogen masih belum cukup,” jelasnya.
Saksikan video “DPR Siapkan Kebijakan Energi Terbarukan untuk Kurangi Kebocoran Migas” (riar/din)