Jakarta –

Belum lama ini, foto poster ajakan berobat ke Malaysia di depan kantor kedutaan viral di media sosial. Kebetulan, gedung kedutaan Malaysia hanya berjarak sekitar 900 meter dari kantor Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI).

Banyak yang percaya bahwa poster tersebut merupakan singgungan terhadap layanan kesehatan di Indonesia, yang masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga, termasuk Malaysia. Hal ini sejalan dengan tren sekitar satu juta orang berobat ke luar negeri setiap tahunnya dengan total pengeluaran sekitar 170 triliun rupiah.

Sebagian besar untuk pengobatan kardiovaskular dan kanker.

Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Medis Hematologi Onkologi (PERHOMPEDIN) menyebutkan banyak faktor yang melatarbelakangi tingginya angka pengobatan di luar negeri. Salah satu yang paling ditekankan adalah waktu pelayanan yang lama.

Ronald A Hukom, dokter spesialis penyakit dalam dan onkologi, menjelaskan perbandingannya. Misalnya, pasien rela ke Penang, Malaysia karena pengobatannya hanya memakan waktu maksimal satu minggu, dibandingkan harus menjalani pengobatan yang kurang lebih sama di Indonesia yang memakan waktu lebih lama, hingga empat minggu.

Dia mengatakan hal seperti itu masih terjadi. Di sisi lain, khusus pasien kanker, beberapa obat kemoterapi juga tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan. “Obat kemoterapi itu tidak murah, ada beberapa obat yang belum disetujui BPJS karena katanya terlalu mahal, ya obatnya mahal, tapi penggunaannya terlalu boros tanpa pengawasan,” kata dr. kata Ronald dalam jumpa pers, Sabtu (12/12). 10) /2024).

Sementara itu, di sisi lain, kami meminta agar obat-obatan baru ini disetujui. Yang benar-benar perlu diperhatikan adalah pengendalian penggunaan obat-obatan tersebut, lanjutnya.

Wacana wisata medis

Pemerintah belakangan berupaya menciptakan wisata medis di sejumlah daerah, termasuk Bali. Dr Ronald mengatakan upaya harus dilakukan untuk menyebarkan rumah sakit yang dilengkapi dengan dokter spesialis serta fasilitas dan peralatan medis di wilayah yang paling dekat dengan negara tetangga.

“Kita harus mulai ya, misalnya dokternya belum cukup. Tapi ada RS yang dokter onkologinya ideal, kenapa Kemenkes RI punya RS yang dokternya lengkap, fasilitas radiologi dan terapinya bisa. ” jangan memilih,”

“Contohnya di Sumatera, di sana hanya ada tiga rumah sakit yang bisa memberikan layanan kanker seperti di Singapura.”

Hal serupa juga terjadi di Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. Dr Ronald menyarankan untuk mendirikan setidaknya lima hingga enam rumah sakit masing-masing untuk bersaing dengan Malaysia dan Singapura.

“Sehingga orang tersebut tidak lagi berobat dan berpikir untuk pergi ke Singapura dan Malaysia. Masih harus dilihat tindakan yang benar-benar memperbaiki kondisinya,” keluhnya.

“Temukan 20 RS fokus pelayanan kanker di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi yang benar-benar membuat masyarakat Indonesia berpikir, kenapa ada yang seperti Sunway Hospital Kuala Lumpur. Dokter kita tidak mungkin bisa setara dengan Australia dan Malaysia,” tutupnya. Saksikan video “Video: IDI tentang Fenomena Pasien Indonesia Berobat ke Luar Negeri” (naf/kna)

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *