Subang –

Desa Subang menjadi saksi betapa dahsyatnya badai Laut Jawa. Tampaknya penduduk desa bekerja melawan waktu.

Kekhawatiran selalu dirasakan warga Desa Mayangan di Kecamatan Lagoncoln, Kabupaten Subang. Air laut perlahan menggerogoti daratan tempat mereka berdiri setiap detiknya.

Gelombang pasang dan erosi terus mengikis daratan di sepanjang pantai Laut Jawa seperti legenda ‘Atlantis’. Dorasid (60), warga Mayangan, duduk di sofa sambil mengamati orang-orang lalu lalang di depan kandang ikan miliknya yang ditaburi garam asbes.

Mengenakan kaos kuning tanpa lengan, ia meneguk segelas minuman dingin untuk menyejukkan diri dari terik matahari yang menyinari Pantora.

Pikiran Dorasid melayang kembali ke dua dekade lalu ketika dia menunjukkan koridor yang menghadap ke laut terbuka di belakang tokonya. Dulunya terdapat tambak ikan dan udang dan menjadi sumber penghidupan warga sekitar.

Namun semua itu lenyap tanpa diketahui karena ditelan laut. Dorasid mengatakan, air tiba-tiba naik secara tidak normal pada siang hari dalam waktu singkat sekitar tahun 2006.

“Tiba-tiba air setinggi lutut. Tidak lama, karena hanya beberapa menit,” kata Dorasid.

Sejak kejadian itu, air pasang sudah berkali-kali naik ke permukaan. Tidak hanya mengguncang kolam dan tempat tinggal, namun kerap memanjat dermaga warga. Pencurian jangka panjang terus terjadi dan tidak berkurang.

Durasid yang rumahnya hanya berjarak sepelemparan batu dari perairan Pulau Jawa, terpaksa mengangkat pondasi rumahnya agar tidak tenggelam.

“Iya ditinggikan. Cuma rumah saya tidak terendam banjir, tapi tanahnya juga ikut tenggelam,” ucapnya sambil menunjukkan tembok lama rumahnya yang sudah ditinggikan.

Namun Dorasid dan keluarganya yang mengandalkan penghasilan sehari-hari dari berjualan ikan memilih bertahan di Mayangan. Meski ancamannya besar, Dorasid mengakui Pulau Jawa kaya akan sumber daya laut.

“Tidak ada keluarga yang tersisa. Mereka tinggal di sini, meski mereka mencari seribu atau dua ribu. Banyak orang di sini yang punya perahu,” kata Dorasid.

Desa Mayangan terkenal karena memiliki objek wisata Pantai Pondokbele yang populer dan menarik minat masyarakat untuk berkunjung ke kawasan Pantura Subang. Lokasi pantai ini berjarak sekitar 10 kilometer dari Jalan Raya di Nyakukan. Namun karena air pasang, terkadang sebagian jalan terendam banjir pada malam hari.

Usai berbincang dengan Dorasid, tim detikJabar menyusuri Jalan Pondok Bali. Pekarangan warga banyak yang tampak basah, bahkan tergenang air laut.

Tak sedikit rumah warga yang terbengkalai dan terbengkalai begitu saja. Bahkan di pagi hari ubur-ubur berenang di pekarangan rumah penduduk.

Sejumlah warga memasang pompa air di pekarangan rumahnya yang digunakan untuk mengevakuasi air laut. Beberapa rumah tampak ada papan tanda untuk dijual, bahkan ada hotel yang baru saja terbengkalai pembangunannya.

Pakar Desa Mayangan, Ncay Caswita mengatakan, air kini masuk ke rumah warga. Ketinggian air yang masuk bisa mencapai setengah meter.

“Belum pernah terjadi seperti ini. Kalau sekarang terjadi banjir besar, air yang masuk bisa masuk ke rumah-rumah warga,” kata Nakai.

Begitu pula dengan kolam ikan yang juga tersapu ke laut. Kini hanya tersisa pohon bakau yang berumur beberapa tahun hingga beberapa dekade, di kawasan bendungan tua, seluruh daratannya telah ditelan laut.

Berdasarkan catatan pemerintah Desa Mayangan, Desa Teluk Ciasem memiliki luas sekitar tujuh puluh persen yang terendam air laut sehingga menyisakan lahan sekitar 100 dunam.

Kepala Desa Mayangan Darto mengatakan, desanya memiliki empat RT yang paling terkena dampak kenaikan permukaan air laut. Kedua kawasan RT tersebut merupakan areal persawahan, namun karena air naik, warga akhirnya menjadikannya kolam yang sudah tidak terlihat lagi karena terendam air laut.

Air laut pun masuk ke rumah warga. Menurut dia, lebih dari 300 Kepala Keluarga (KK) terdampak langsung banjir dan goresan.

Mereka yang beruntung bisa pindah ke tempat yang lebih tinggi, ada juga yang tetap tinggal tapi membangun rumahnya, namun ada juga yang mengalah karena rumahnya tenggelam seperti ‘Atlantis’.

“Hampir semua orang adalah nelayan, karena bendungannya sudah jebol dan kita juga tidak punya sawah,” kata Darto.

Darto juga berkonsultasi dengan pemerintah Kabupaten Subang mengenai pencegahan erosi di Mayangan, namun ternyata membutuhkan modal yang terlalu besar.

“Kami menemui ombak yang tak kunjung surut sehingga kolam kami tenggelam, tanggul menjadi lunak, rusak karena banjir tidak kunjung surut dan ada rumah warga yang masuk ke dalamnya,” ujarnya.

Kekhawatiran warga Desa Iangan akhirnya mendapat perhatian dari berbagai sumber. Salah satunya Hendri yang menciptakan konsep Mangrove Guardians dan mendorong pembentukan Tim Siaga Pantai Utara (SIPUT) yang beranggotakan generasi muda untuk mendirikan sekolah mangrove.

Nanadri bekerja sama dengan berbagai asosiasi juga mendirikan pusat pendidikan mangrove yang memiliki kontribusi besar dalam mengedukasi warga tentang mangrove dan mengendalikan keadaan hutan mangrove di pesisir Mayangan.

“Vanadri dan kawan-kawan dari Vanadari mengawali ide penghijauan kembali untuk sebuah gerakan yang bisa dikatakan kooperatif. Karena Nadri disini tidak bisa sendirian. Jadi di sini Mayangan adalah tempat latihan para Vanadari, dimana didalamnya terdapat moral bebannya, mempunyai pesan nyata “Suatu lapangan harus dijaga pelatihannya dan dilindungi,” kata Direktur Wali Mangrove, Mansyur di Mangrove Education.

Saat ini suku Nadri sedang melaksanakan proyek penyelamatan lahan pesisir di Subang Utara, antara lain di Desa Mayangan, Tegalurung, dan Gunwatan.

Menariknya, bibit mangrove yang ditanam berasal dari warga sekitar, bibit yang ditanam warga. Tujuannya agar warga tertarik memahami dan melestarikan mangrove untuk menyelamatkan lingkungan.

Rencana yang dilakukan Wanadri rupanya mendapat respons dari berbagai sumber atas penyaluran bantuan, salah satunya Eiger yang menanam 10 ribu pohon bakau. Berbagai acara digelar untuk membangkitkan mood masyarakat, salah satunya pemutaran film ‘Metra Pantura’.

“Saya berharap dengan adanya gerakan ini, semua pihak dari Pentalix, secara gotong royong, masyarakat, warga, kemudian kepala desa, kemudian dari pemerintah dan media, tim media, dan para pengusaha semuanya berkontribusi. Saya berharap dalam 10 tahun ini situasi di Mayangan akan pulih dan menjadi habitat alami atau hijau lebat,” kata Mansir.

Menanam mangrove bukanlah hal yang mudah di kondisi Mayangan saat ini. Warga tidak bisa begitu saja menanam mangrove karena airnya besar.

“Dulu kalau menanam tidak pakai polibag, tapi hanya propagul. Sekarang harus pakai propagul, karena airnya dalam. Kalau jebolnya kena air pasang, nanti ada lubang, kalau bolong hilang. Ke dalam batangnya, maka mangrove akan mati dan tidak tumbuh,” kata Nakai.

Penanaman mangrove tidak bisa dilakukan sekali lalu ditinggalkan. Namun Anda harus mengikuti perkembangannya, lalu menanamnya di jaringan agar lebih kuat lagi. Meski demikian, Ncay dan masyarakat Mayangan tidak akan putus asa untuk terus melestarikan hutan bakau di Mayangan.

“Jika kita tidak menyelamatkan hutan, hutan bisa hilang,” kata Nakai.

——-

Artikel ini muncul di detikJabar. Saksikan video “Video: Menjelajahi Desa Mayangan Subang yang Mulai Ditelan Laut Jawa” (wsw/wsw)

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *