Jakarta –
Kurang dari sebulan telah berlalu sejak pemerintahan Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto menjabat, dan terjadi perselisihan mengenai konstitusi. Bab ini memuat pasal Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang menekankan kesetaraan membawa rokok tanpa identitas merek melalui Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Kementerian Kesehatan) yang bersumber dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024 ).
Agenda kebijakan tersebut sempat membuat heboh karena hingga saat ini sebagian besar pihak belum memperhitungkan dampak IHT terhadap perekonomian. Kajian Institute of Economic and Financial Development (INDEF) mengungkapkan, jika PP 28/2024 dan RUU Menteri Kesehatan diterapkan, maka akan timbul permasalahan hingga Rp 308 triliun pada perekonomian nasional. . .
Selain itu, kebijakan tersebut dinilai sebagai upaya Kementerian Kesehatan untuk menerapkan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Menyikapi hal tersebut, dalam Leaders’ Forum detikcom digelar acara bertajuk “Mengejar Pertumbuhan Ekonomi 8%: Permasalahan Industri Tembakau dalam Kebijakan Baru” pada Selasa (5/11), Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia dan Rektor. dari Universitas Umum Achmad Yani Hikmahanto Juwana mengkritik keras Kementerian Kesehatan.
“Harus dipahami bahwa kolonialisme saat ini bukan sekadar kolonialisme, tetapi juga sistem perdagangan manusia yang memiliki kepentingan organisasi asing sebagai hukum negara,” kata Hikmahanto.
Ia juga menegaskan, Indonesia belum meratifikasi FCTC sehingga tidak ada alasan bagi Indonesia untuk menggunakannya. “Hal ini bertentangan dengan instruksi Presiden Prabowo agar Indonesia menghormati kedaulatan,” tegasnya.
Dalam acara tersebut, Ketua Federasi Serikat Pekerja Tembakau dan Rokok Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI), Sudarto AS, menyampaikan keprihatinannya. Ia mengatakan IHT merupakan sektor aktif yang membutuhkan dukungan pemerintah, bukan dipaksa oleh undang-undang yang lebih banyak. Sudarto juga mengatakan pihaknya telah mencoba berbagai cara untuk memberikan dukungan kepada Kementerian Kesehatan.
“Kami berusaha terus ikut serta dalam penyusunan undang-undang, tapi tidak didengarkan. Setelah ribuan anggota kami turun ke jalan, barulah Kementerian Kesehatan ingin menjalin dialog,” ujarnya.
Saat itu, Kepala Kementerian Kesehatan mengatakan pengaturan kemasan rokok tanpa menyebutkan mereknya masih jauh. Mereka juga sepakat akan ikut serta dalam RTMM untuk membuat undang-undang. belum dilakukan,” katanya. katanya. bersama.
Praktik Kementerian Kesehatan yang tidak transparan dan tidak konsisten memicu perdebatan mengenai sistem penempatan paket tanpa identifikasi merek. Dengan besarnya kontribusi IHT terhadap perekonomian nasional melalui pajak bumi dan bangunan dan penyediaan lapangan kerja, fleksibilitas selalu diperlukan dalam mengambil kebijakan terkait hal tersebut.
Banyak pihak juga yang berharap akan muncul kebijakan pengangkutan serupa tanpa identitas mereknya. Hal ini diperlukan agar kebijakan yang ditetapkan tidak efektif dalam mencapai tujuan kesehatan, serta mempertimbangkan keberlanjutan sektor tembakau dan dampaknya terhadap perekonomian masyarakat. (akun/ego)