Jakarta –
Edukasi tentang bahaya bisphenol A (BPA) seringkali berbenturan dengan permasalahan persaingan usaha. Kebijakan yang mengatur penggunaan BPA dalam kemasan plastik tampaknya hanya menguntungkan produsen tertentu yang tidak menggunakan bahan tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr. Ulul Albab, SpOG mengingatkan semua pihak untuk fokus pada upaya melindungi masyarakat dari dampak kesehatan. Namun penelitian yang membuktikan risiko kesehatan akibat paparan BPA telah dipublikasikan di banyak jurnal ilmiah.
Terkait persaingan bisnis, Dr Ulul menilai hal tersebut merupakan hal yang lumrah. Pemahaman baru yang dianggap mengganggu stabilitas biasanya akan ditanggapi dengan upaya pengalih perhatian.
“Dulu, pada masa COVID, ketika kita tidak tahu berapa banyak orang yang meninggal, masalah COVID terdistorsi oleh berbagai masalah,” kata Dr. Ulul misalnya.
Bahkan, pemeriksaan BPOM terhadap fasilitas air minum polikarbonat periode 2021-2022 menunjukkan kadar BPA yang bermigrasi ke air minum lebih besar dari 0,6 ppm (standar BPOM) meningkat berturut-turut menjadi 4,58 persen. Demikian pula hasil pengujian migrasi BPA berada pada ambang batas 0,05-0,6 ppm, meningkat berturut-turut menjadi 41,56 persen.
Sementara itu, di negara-negara berkembang, Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) semakin menurunkan batas aman paparan BPA pada manusia. Jika pada tahun 2015 badan ini menetapkan angka asupan harian yang dapat ditoleransi (TDI) sebesar 4 mikrogram/kg berat badan/hari, maka pada April 2023 batas tersebut kembali diturunkan menjadi 0,2 nanogram/kg berat badan/hari atau sekitar 20 ribu kali lebih rendah.
Di sisi lain, perilaku pengguna galon air daur ulang sulit dipantau sehingga dapat meningkatkan risiko pelepasan partikel BPA. Temuan Asosiasi Penyalur dan Penyalur Air Minum Indonesia (Apdamindo) menyebutkan masih banyak warga yang menggunakan galon berumur 10-15 tahun hingga warnanya menguning.
Menurut dr. Ululu, penggunaan BPA pada kemasan makanan dan minuman bukan hanya menjadi masalah di Indonesia. Banyak negara lain juga mengkhawatirkan risiko kesehatan dan harus diatur.
“Posisi IDI sebagai lembaga profesi dokter adalah kita menyampaikan kebenarannya. Diterima atau tidak? Itu nomor dua, tapi yang pasti kita harus berani menyampaikan itu masalah lho. , nyambung. Kita pilih apa yang dialami masyarakat dan seharusnya,” jelasnya.
Sementara itu, pakar polimer Universitas Indonesia, Prof. Mochamad Chalid, SSi, MScEng menjelaskan, BPA digunakan dalam industri plastik sebagai bahan baku pembuatan plastik polikarbonat (PC). Menurutnya, penggunaan yang tidak terkontrol berisiko menyebabkan pencucian atau pemisahan partikel BPA.
“Ibarat polimernya seperti tali pada kalung. Tautan pada kalung itu BPA. Kalau dipakai, besar kemungkinan talinya lepas sehingga menimbulkan masalah,” jelas Prof. Chalid dalam diskusi di detikcom Leaders Forum di Jakarta Selatan, Rabu (30/10/2024).
Prof. Chalid mengingatkan, banyak faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya pencucian atau leaching BPA dari kemasan polikarbonat ke dalam air minum. Misalnya saja paparan sinar matahari pada saat proses pendistribusian, suhu tinggi dan proses pencucian.
“Bisa jadi karena faktor kegunaannya, faktor pengangkutan dari sistem produksi ke masyarakat, ke retail, lalu ke konsumen, lalu konsumen pakai kembali, lalu pakai kembali, kapan ini, bersih lagi, dan seterusnya,” kata Prof. Panas.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Dokter Indonesia (PB IDI), dr. Ulul Albab, SpOG, mengatakan dampak klinis paparan BPA telah dibuktikan di banyak jurnal ilmiah. Salah satunya terkait kesuburan, karena khasiat BPA dapat mengganggu keseimbangan hormonal. (avk/naik)