Pulau Anambas –

Membangun stasiun penyiaran atau base transceiver station (BTS) di wilayah kepulauan seperti Kabupaten Kepulauan Anambas memiliki banyak tantangan, seperti logistik dan kondisi cuaca. Tidak berhenti disitu saja, begitu ditayangkan, jadwal BTS akan memiliki tantangan tersendiri.

Hal ini juga berdampak pada rekayasa menara BTS milik Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) di bawah Kementerian Komunikasi dan Teknologi Digital atau Komdigi (sebelumnya Kominfo), juru bicara Firdaus (24).

Pria yang akrab disapa Dawes ini telah bekerja di bidang komunikasi sejak tahun lalu, tepatnya September. Namun, ia mendapat banyak cerita selama proses pembangunan menara BTS.

“Dalam keseharian kita selalu berkunjung (cek) cuaca, karena pengaruh meteorologi dari satelit VSAT, kelemahannya adalah cuaca, sehingga mengalami gejala kualitas. Makanya kita akan berkunjung, ”kata Daus kepada detikcom. setelah beberapa saat.

Kabupaten Kepulauan Anambas dikenal dengan luas wilayah 46.664,14 km², terdiri dari 255 pulau dan 26 pulau berpenghuni. Letak kawasan yang banyak basah membuat pemeliharaan infrastruktur memerlukan tambahan waktu dan biaya.

Daus secara pribadi mengawasi pemeliharaan 12 tower BTS di Pulau Anambas. Menara-menara ini tersebar di pulau-pulau antara lain Pulau Djemaja, Pulau Tungak, Pulau Keramut, dan Pulau Xiantan.

Kepada anggota Tapal Batas detikcom, Daus mengatakan, tempat tersulit yang dilakukannya adalah di Pulau Siantan, yakni di depan Pulau Djemaja. Belakangan, ia memberanikan diri menaiki perahu kecil atau pompong untuk menuju ke sana.

“Saya kena badai kemarin, lumayan parah, beberapa barang saya hilang, seperti GPS atau tas keselamatan. Saya juga kehilangan perlengkapan keselamatan, termasuk pakaian saya,” tambah Dawes.

“Kondisi saat itu seperti angin kencang, ombak kencang dan tidak tinggi, namun membuat perahu kecil kami terguncang. Karena kami berlayar dengan perahu kecil,” lanjutnya.

Soal transportasi, Dawes mengaku menaiki perahu nelayan pompong. Namun, dalam kondisi cuaca buruk seperti itu, para nelayan tidak mau menyerahkan kepada teknisi.

“Kalau cuaca buruk, harga bisa naik karena minyak. Kedua, sekarang para nelayan saat musim melaut lebih memilih membunuh ikan dibandingkan membebani kita,” kata Daus.

“Kalau cuaca buruk, kami juga merugi, karena banyak nelayan atau jasa pengiriman yang tidak berani,” lanjutnya.

Tantangan lain yang dihadapi Daus adalah pendakian setinggi 73 meter. Namun terlepas dari itu semua, ia mengaku puas dengan apa yang dilakukannya.

“Alasan kenapa saya ingin merawat menara di sini, salah satunya adalah agar saya bisa lebih menikmati keindahan Indonesia. Kedua, saya lebih suka bergaul dengan orang-orang yang berbeda budaya di Indonesia,” kata Daus.

Detikcom bersama BAKTI Kementerian Komunikasi dan Teknologi Digital (Komdigi) memimpin program Batas Tapal untuk menganalisis pembangunan ekonomi, pariwisata, infrastruktur dan pemerataan akses Internet di wilayah 3T (pembangunan, perbatasan dan luar). Nantikan terus berita seru, unik dan seru dari program Tapal Batas di tapalbatas.detik.com! (kanan/kiri)

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *