Jakarta –
Jepang kini menghadapi masalah demografi yang semakin besar. Angka kelahiran pada tahun 2023 mengalami penurunan selama delapan tahun berturut-turut.
Fenomena ini tidak hanya berdampak pada sektor sosial ekonomi negara, tetapi juga merambah di dunia hitam, khususnya geng. Angka dari Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang menunjukkan hanya 758.631 bayi yang akan lahir pada tahun 2023, turun 5,1 persen dari tahun sebelumnya.
Angka kelahiran ini merupakan yang terendah sejak Jepang mulai mengumpulkan statistik kelahiran pada tahun 1899.
Menurunnya angka pernikahan dianggap sebagai salah satu penyebab utama menurunnya angka kelahiran. Dalam konteks ini, krisis demografi juga dirasakan oleh kelompok mafia. Menurut detikINET yang dikutip The Guardian, organisasi tersebut sudah ada sejak abad ke-17 dan berakar sejarah pada kelompok samurai bernama “Kabukimono”.
Yakuza Jepang dikenal dengan struktur organisasinya yang ketat, kode moral yang disiplin, dan praktik tradisional yang mencolok seperti amputasi jari kelingking kiri sebagai tanda pertobatan (jubitsum). Namun Yakuza kini mulai kehilangan daya tariknya di mata generasi muda.
Puncaknya pada tahun 1963, geng ini memiliki lebih dari 184.000 anggota. Namun jumlah ini masih mengalami penurunan yang signifikan. Pada tahun 2022, jumlah anggota resmi yakuza diperkirakan hanya sekitar 11.400, dengan tambahan 11.000 anggota “bayangan”.
Faktanya, beberapa pengamat memperkirakan bahwa geng-geng akan hilang dalam waktu dekat. Alasan utama penurunan ini adalah generasi muda Jepang semakin tidak tertarik pada dunia kejahatan terorganisir.
Faktor demografi juga memperburuk situasi. Saat ini, sebagian besar anggota geng berusia di atas 50 tahun, dan lebih dari separuhnya berusia di atas 60 tahun.
Menurut detikINET di Guardian, jumlah veteran geng berusia di atas 70 tahun melebihi mereka yang berusia 20-an dengan perbandingan dua banding satu. Namun, laki-laki muda adalah sumber “kekuatan” tradisional kelompok tersebut.
Salah satu alasan mengapa generasi muda semakin enggan bergabung dengan geng adalah ketatnya aturan yang diberlakukan oleh polisi Jepang. Dalam beberapa tahun terakhir, polisi Jepang telah mengeluarkan berbagai peraturan yang membatasi aktivitas anggota geng.
Anggota geng tidak diperbolehkan memiliki rekening bank, kartu kredit, telepon seluler, atau bahkan asuransi, sehingga membatasi kemampuan mereka untuk berinteraksi secara ekonomi dengan masyarakat. Situasi ini membuat banyak generasi muda Jepang enggan terjun ke dunia kriminal.
“Untuk generasi saya, kami bermimpi menjadi anggota geng berpangkat tinggi yang populer di kalangan perempuan, punya uang, dan mengendarai mobil bagus. Namun zaman telah berubah. “Anak muda zaman sekarang tidak ingin dikaitkan dengan geng,” kata seorang mantan anggota geng.
Seiring menurunnya angka kelahiran, bertambahnya usia anggota geng dan generasi muda menunjukkan kurangnya minat untuk bergabung dengan dunia kriminal, geng kini berada di persimpangan jalan. Organisasi yang pernah melambangkan kekuasaan dan ketakutan kini menghadapi ancaman eksistensial yang lebih besar dari sebelumnya.
*Artikel ini ditulis oleh Dita Alicia Armadani, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka detikcom. Saksikan video “Tonton Ulang Video Jepang ‘Amuk’ Indonesia di GBK” (fyk/fyk)