Surabaya –

Desa Wisata Oasis Ondomohen di Surabaya tak sekadar ‘menjual’ wisata. Di desa ini juga mereka mengolah sampah menjadi berkah yang lebih bermanfaat.

Moishriani (59) dan Salustri (54) punya tangan yang bagus saat mereka memetik kubis yang ditanam dengan sistem hidroponik di ujung jalan mereka. Dalam waktu singkat kedua mangkuk itu terisi kubis, sebagian daunnya sudah menguning.

“Yang segar dan hijau bisa dimasak, sedangkan yang kuning bisa dijadikan makanan ikan gurami,” kata Moishariani, yang akrab disapa Yani, kepada Datek Jatam.

Tanaman kangkung ini merupakan salah satu dari berbagai tanaman sayur dan buah yang ditanam warga Jalan Ondomohan Magarsari V, Desa Kitabang, Genting, Surabaya.

Warga lebih memilih menanam sayuran dalam pot (tampot) dan tanaman buah-buahan dalam pot. Biasanya masakan ini menggunakan bahan kemasan makanan bekas.

Apa yang dilakukan warga ini mengikuti konsep urban farming, dimana tanaman dapat dijadikan makanan, selain memberikan penyejuk dengan menciptakan oksigen dan estetika.

Bayam Brazil Ditanam di Pot Bekas Foto: Meera Richamalia Yani Menurut warga, ragam tanaman sayur dan buah yang ditanam di sekitar rumah bisa menjadi pangan yang tidak hanya menyehatkan tapi juga hemat.

“Di dalam pot ini ada cabai, daun bawang, cabai, kangkung, dan bayam brasil. Pot ini sebagai media tanam,” kata Yanni yang bersemangat menjelaskan satu per satu tanaman yang ada di dalam pot.

Di sela-sela rumah warga di sepanjang jalan ini, warga juga menanam beberapa pohon tinggi yang melindungi rumah warga dari terik matahari dan turut membantu mendinginkan udara. Kota indah Jalan Ondomohan Magrisari V lambat laun mendulang banyak penghargaan dan prestasi.

Salah satunya pernah meraih predikat Kampung Berseri Astra (KBA) Ondomohen karena inovasi warganya dalam mengolah sampah dan limbah rumah tangga. Tak hanya itu, warga kemudian menamai lingkungannya Kampoeng Wisata Oase Ondomohen.

Yani kemudian menyampaikan, pengembangan Desa Wisata Ondomohan Oz dimulai pada tahun 2016. Pada saat itulah penduduk setempat turun tangan dan memenangkan perjuangan untuk bebas dari sampah. Berbahagia dengan keberhasilan tersebut, semangat warga untuk kembali memasuki dunia pendidikan semakin meningkat.

“Kemudian warga terus belajar cara mengolah sampah. Setiap bulan kami melakukan pengabdian kepada masyarakat, setiap hari kami olah langsung dari rumah. Jadi sampah basah dijadikan kompos, lalu sampah kering seperti botol. Langsung ke tempatnya,” jelas Yanni. .

Disiplin pemilahan sampah rumah tangga terbukti efektif mengurangi sampah rumah tangga yang merupakan penyumbang sampah nasional terbesar menurut catatan Kementerian Lingkungan Hidup.

Inovasi pengolahan sampah lainnya kembali ditunjukkan oleh Salustri. Tampak sebuah rak hijau bertingkat tiga berdiri tepat di samping deretan tanaman pisang. Di dalamnya terdapat wadah berwarna biru yang bertuliskan nama dan alamat penduduk.

Masing-masing wadah tersebut berisi sampah basah yang berasal dari sisa makanan, sisa sayuran, dan sampah organik lainnya yang dijadikan makanan belatung, larva pengurai sampah organik.

“Belati berumur 26 hari sudah bisa dipanen, kemudian dipanaskan dengan pasir hingga kering dan menjadi pakan ternak dan ikan,” jelas Salustri.

Inovasi warga dalam pengolahan sampah rumah tangga tidak berhenti sampai di situ. Kali ini, talang depan rumah yang menyerupai saluran pembuangan limbah disulap menjadi kolam berisi berbagai jenis ikan air tawar.

Sedangkan air limbah domestik dialirkan ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) melalui pipa yang tertanam di bawah kolam ikan.

Wakil Ketua RT 008 RW OO7 Ratno Yuwono mengatakan, air yang dihasilkan IPAL benar-benar murni dan tidak berwarna atau berbau.

Oleh karena itu, air ini kemudian dipompa ke dalam parit tempat ikan-ikan itu hidup, bahkan digunakan warga untuk mencuci air dan tanaman.

Sementara itu, Adi Candra (42), aktivis lingkungan hidup yang aktif di KBA Oase Ondomohen menjelaskan, penggunaan air IPAL terbukti menyelamatkan warga dalam penggunaan air PDAM.

Sedangkan konsumsi air PDAM digantikan dengan konsumsi air IPAL, rata-rata pembayaran air 30 m3 atau Rp 96 ribu sekitar 17m3 atau Rp 54.400, hemat sekitar 43%, jelas Adi.

Dari jalan kecil di jantung kota Surabaya ini, wisatawan bisa belajar tentang pengolahan sampah, urban farming, atau sekadar menikmati keteduhan kapan saja.

Sebab sesuai dengan namanya, Kampung Wisata Os Ondomohan ibarat bayangan dan menebar berkah di tengah kota metropolitan Surabaya yang penuh dengan kebisingan dan polusi.

——

Artikel ini dimuat di detikJatim. Saksikan video “Pertumbuhan Surabaya Pesat, Apakah Layak Jadi Contoh Bagi Kota Lain?” (wsw/wsw)

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *