Jakarta –
Fenomena tidak memiliki anak atau memilih untuk tidak memiliki anak tidak hanya banyak dihadapi oleh negara-negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan, namun belakangan ini trennya meningkat di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (2023) melaporkan bahwa 8,2 persen perempuan berusia 15–49 tahun memilih untuk tetap tidak mempunyai anak. Sebagai catatan, survei ini hanya dilakukan pada kelompok perempuan yang sudah menikah sebelumnya dan belum memiliki anak, serta pada pasangan yang tidak menggunakan alat kontrasepsi.
Artinya, jumlah kasus yang tidak memiliki anak mungkin akan lebih tinggi jika distribusi perempuan belum menikah yang menggunakan alat kontrasepsi dalam survei ini juga diperhitungkan. Peningkatan kasus tanpa anak dilaporkan selama empat tahun terakhir, didominasi oleh penduduk DKI Jakarta (14,3 persen), Jawa Barat (11,3), dan Banten (15,3 persen).
Meskipun ada kekhawatiran bahwa hal ini akan berdampak serius pada komposisi penduduk dan ketahanan bangsa di masa depan seiring dengan menurunnya angka kelahiran atau angka kesuburan total (TFR), namun jelas bahwa pilihan seperti ini harus diambil. Yang saya hormati Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Airlanga (UNAIR) Dr. Noor Aini Fardana, N, MSI, psikolog, mengingatkan kita bahwa tidak memiliki anak bukan sekadar pilihan.
Beberapa dari mereka tetap tidak memiliki anak karena masalah kesehatan. Perempuan mungkin mengalami masalah kesuburan atau, dalam keadaan tertentu, organ reproduksinya kurang sempurna, seperti tidak adanya rahim, dan berisiko kematian selama kehamilan atau persalinan, sehingga merugikan kesehatan ibu dan janin. .
Berdasarkan statistik Kementerian Kesehatan RI tahun 2022, prevalensi gangguan reproduksi atau infertilitas di Indonesia sebesar 10-15 persen. Dari 39,8 juta tersebut, empat hingga enam pasangan berada dalam usia subur yang membutuhkan perawatan untuk memiliki anak.
“Kita tidak boleh menghakimi seseorang karena dia bebas dari anak-anak,” tegas perempuan bernama Neni itu dalam keterangan tertulisnya dikutip detikcom, Selasa (12/11/2024).
Beberapa kasus perempuan yang memilih untuk tidak mempunyai anak juga dilatarbelakangi oleh trauma masa lalu. Dalam hal ini, pilihan tanpa anak jelas membawa dampak positif, yakni terhindar dari risiko penyakit fisik dan mental.
Di sisi lain, rasa takut yang terkait dengan tanggung jawab dan komitmen yang besar untuk memiliki anak juga turut berperan. BPS melaporkan lebih banyak perempuan yang memiliki lulusan sekolah menengah atas yang memilih hidup tanpa anak, dibandingkan dengan kelompok perempuan yang berkarir dan berpendidikan tinggi, seperti magister dan doktoral. Alasannya jelas karena keterbatasan finansial akibat meningkatnya biaya hidup, membuat seseorang tidak mungkin menjadi orang tua atau memiliki anak.
Meski demikian, Neni juga berpesan agar masyarakat tidak mengambil keputusan ‘tidak memiliki anak’ karena alasan yang belum matang. Hal ini dikarenakan seseorang mungkin merasa kesepian dan terisolasi karena tidak memiliki tempat untuk mencurahkan cintanya atau mendapatkan dukungan emosional. Selain itu, seseorang harus siap menghadapi tekanan keluarga dan sosial yang menganggap anak-anak bebas sebagai pilihan yang tidak biasa.
“Anda harus benar-benar melihat dampak positif dan negatif dari tidak memiliki anak,” tutupnya.
Berikutnya: Daftar wilayah dengan kasus tidak mempunyai anak tertinggi yang dilaporkan di AC
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, Pulau Jawa menjadi wilayah dengan jumlah perempuan hidup tanpa anak terbanyak.
Kebanyakan dari mereka tinggal di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Lebih dari 10 persen dari seluruh kasus dilaporkan pada tahun 2022.
Tingginya tingkat tidak mempunyai anak di ketiga sektor tersebut terkait dengan pola pikir yang sangat terbuka terhadap modernisasi. Pada awal penyebaran Covid-19, pemerintah mulai menerapkan kebijakan pembatasan pergerakan masyarakat di luar rumah, secara keseluruhan jumlah perempuan tanpa anak pada periode tersebut mengalami penurunan dibandingkan sebelum pandemi.
Namun data BPS justru menunjukkan fenomena sebaliknya pada DKI Jakarta dan Jawa Timur pada tahun 2020, yaitu persentase perempuan tanpa anak di kedua provinsi tersebut meningkat pada awal epidemi.
Fakta ini mengklaim bahwa COVID-19 telah menurunkan kapasitas keuangan dan daya beli masyarakat di DKI Jakarta dan Jawa Timur ke tingkat yang sangat rendah. Akibatnya, semakin banyak perempuan yang memilih untuk tidak memiliki anak agar tidak membebani perekonomian keluarga.
Tren peningkatan kasus tidak mempunyai anak di tiga wilayah pertama adalah sebagai berikut: DKI Jakarta meningkat dari 8,8 persen menjadi 14,3 persen dalam empat tahun terakhir, Jawa Barat meningkat dari 7,8 persen menjadi 11,3 persen dalam empat tahun terakhir. Tonton video “Video respon Veronica Tan terhadap meningkatnya tren tidak memiliki anak” dalam empat tahun terakhir (naf/kna)