Jakarta –

Industri tembakau dalam negeri (IHT) menghadapi tantangan yang tiada habisnya. Kini industri yang memiliki kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional ini harus menghadapi ancaman rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Proyek Permenkes) yang mendorong keseragaman kemasan rokok dengan menghilangkan identifikasi merek. Di tengah upaya pemerintah mencapai pertumbuhan ekonomi 8%, kontroversi tersebut menjadi topik perbincangan yang menarik.

Berdasarkan fakta tersebut, detikcom menghadirkan acara detikcom Leaders Forum yang bertajuk “Menargetkan Pertumbuhan Ekonomi 8%: Tantangan Industri Tembakau di Bawah Kebijakan Baru”. Acara tersebut diselenggarakan untuk membahas tantangan dan peluang yang dihadapi industri tembakau sebagai pilar penting perekonomian nasional dalam mendukung upaya pemerintah mencapai pertumbuhan ekonomi 8% dalam menghadapi tantangan politik yang ada.

Melalui serangkaian sesi panel dan diskusi interaktif, acara ini mengeksplorasi berbagai kontribusi dan implikasi IHT, serta potensi dampak peraturan terkini terhadap industri dari hulu hingga hilir.

Detikcom Leaders Forum dibuka oleh CEO detiknetwork Abdul Aziz. Dalam sambutannya beliau menyampaikan bahwa industri tembakau merupakan sektor padat karya yang menyerap lebih dari 6 juta orang di Indonesia. Mulai dari petani tembakau dan cengkeh, buruh, hingga pedagang tersebar di seluruh wilayah.

Tak hanya itu, lanjut Aziz, IHT juga memberikan kontribusi yang besar bagi pemerintah Indonesia, khususnya dari cukai hasil tembakau dan penerimaan pajak lainnya. Karena banyaknya masyarakat kecil yang terlibat di dalamnya, maka industri ini merupakan wajah nyata perekonomian kerakyatan yang mencakup berbagai lapisan masyarakat.

“Hari ini kita akan memberikan ruang diskusi yang berimbang. Kita akan mendengarkan pandangan berbagai pihak, mulai dari petani, pekerja, pedagang, pelaku industri, kemudian para pemerhati ekonomi hingga pakar hukum. Kita berharap diskusi ini dapat memberikan gambaran utuh mengenai permasalahan yang ada. yang dihadapi industri tembakau dan dampaknya,” ujarnya saat berdiskusi di forum pimpinan detikcom di Jakarta Selatan, Selasa (5/11/2024).

Membuka sesi diskusi panel, Sekretaris Jenderal DPN Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kusnasi Mudi menegaskan bahwa tembakau merupakan komoditas strategis nasional yang berperan penting dalam mendorong pencapaian target pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan Presiden Prabowo.

Karena tembakau ini selain bernilai ekonomi, juga memberikan dampak sosial terhadap sektor tenaga kerja, termasuk bagi produsen tembakau. Nilai ekonomi dan sosial itulah yang menjadi alasan pelestarian tembakau, ujarnya.

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Makanan dan Minuman Rokok Tembakau Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Sudarto A.S. mengatakan hal yang sama. Dikatakannya, IHT merupakan sektor padat karya yang memerlukan dukungan pemerintah dibandingkan tekanan regulasi yang berlebihan seperti Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) yang merupakan perintah pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Pelayanan Kesehatan (UU 17/2023), serta peraturan turunannya melalui rancangan keputusan Menteri Kesehatan.

“Kami mencoba untuk terus berpartisipasi dalam proses pembuatan aturan ini, tetapi kami tidak didengarkan. Setelah ribuan anggota kami turun ke jalan, barulah Kementerian Kesehatan mau berdialog,” kata Sudarto.

“Kemudian Direktur Kemenkes menyampaikan bahwa masih banyak jalan yang harus ditempuh sebelum adanya regulasi kemasan sederhana. Beliau juga sepakat bahwa RTMM akan terlibat dalam pengembangan regulasi. Namun hal tersebut belum terjadi,” dia ditambahkan.

Dari sisi industri, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur Adik Dwi Putranto pun mengutarakan pandangannya. Menurutnya, kemasan rokok yang seragam tanpa identifikasi merek akan berdampak negatif secara ekonomi dan sosial di Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Dia pun memberikan laporan kepada pemerintah.

“Kalau mau keluarkan regulasi, harus melalui riset atau kajian, bukan muncul begitu saja. IHT itu industri strategis, jadi kalau mau ada regulasi harus melalui riset, riset dengan pemangku kepentingan, tapi kami tidak pernah terlibat dalam pembentukan regulasi,” ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Mujiburrohman mengatakan, regulasi terkait peredaran atau penjualan rokok juga baik jika diatur dengan baik. “Jika tidak, kami khawatir akan bermunculan produk-produk ilegal yang tentunya berdampak pada pedagang,” ujarnya.

Andrii Satrio Nugroho, Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), juga menekankan pengaruh tersebut. Andri mengatakan, jika ketentuan PP 28/2024 dan proyek Menteri Kesehatan itu dilaksanakan maka akan berdampak buruk terhadap perekonomian nasional hingga Rp308 triliun.

“Dari pendapatan saja, mungkin hilang Rp 160,6 triliun. Jumlah ini setara dengan 7% penerimaan pajak. Di sisi ketenagakerjaan, kemungkinan besar 2,29 juta pekerja akan terkena dampaknya,” kata Endree.

Dilihat dari segi hukum, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia sekaligus Rektor Universitas Achmada Yani Hikmahanto Juwana ini menegaskan, sikap Kementerian Kesehatan terhadap upaya adopsi Framework Convention on Tobacco Control (Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau). Aturan FCTC) merupakan bentuk kolonialisme.

“Hal ini bertentangan dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto untuk mendukung kedaulatan Indonesia,” tegasnya.

Sekadar informasi, detikcom Leaders Forum merupakan platform unik yang mempertemukan para pemimpin dari berbagai industri untuk mendiskusikan topik relevan. Acara ini bukan sekedar forum tetapi juga wadah berbagi ide, pembelajaran dan networking untuk meraih peluang yang menjadi tujuan diadakannya acara ini.

Tonton videonya: detikcom Leaders Forum: Arah industri tembakau dan pengaturan akses anak

(akn/ega)

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *