Jakarta –
Rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025 menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat. Salah satunya adalah bisnis hotel dan restoran.
Maulana Yusran, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), menilai kebijakan tersebut sudah ketinggalan zaman dan menjadi ancaman bagi pemulihan sektor hotel dan restoran yang masih berjuang pasca pandemi Covid-19.
Menurut Yusran, kenaikan PPN akan mempengaruhi tarif kamar hotel dan harga yang dibayarkan kepada pelanggan restoran. Meski mempunyai potensi, tambahnya, tekanan kenaikan biaya operasional membuat kenaikan harga tidak bisa dihindari. Sebab, jelasnya, hotel dan restoran memiliki banyak rantai pasok, seperti bahan makanan dan kebutuhan pokok lainnya.
Oleh karena itu, dia meminta pemerintah mengkaji ulang kebijakan tersebut agar tidak menghambat reformasi ekonomi. Selain itu, dengan belum pulihnya daya beli masyarakat, kenaikan PPN berpotensi justru melemahkan sektor pariwisata yang menjadi salah satu penggerak perekonomian negara.
“Kenaikan PPN sebesar 12% menurut kami kurang tepat saat ini. Karena kondisi perekonomian saat ini yang membuat daya beli kita rendah, justru menurun. sektor.” perlu dipertahankan. Yang paling kita khawatirkan adalah “daya beli itu sendiri. Jadi kalau penurunan daya beli terus berlanjut, tentu permintaan hotel dan restoran otomatis terkonsentrasi karena kenaikan 1 poin berdampak langsung kepada masyarakat,” kata Maulana dalam acara CNBC Indonesia Awards, Jumat (22/11/). 2024).
Ciri-ciri dasar sebuah hotel adalah fasilitasnya, lalu ada juga kebutuhan makanan dan minuman, bahan dasar makanan dan minuman dan masih banyak lagi yang menyebabkan harga naik di sana. Kalau harga naik, pelanggan tidak akan tinggal. ” Juga. , daya beli masyarakat juga menjadi masalah besar,” imbuhnya.
Kenaikan PPN, lanjutnya, akan menjadi beban masyarakat dan berpotensi mematahkan semangat pariwisata, khususnya wisatawan nusantara yang menjadi tulang punggung sektor pariwisata yang ada.
Pasca Covid-19, bisnis sektor pariwisata, khususnya industri hotel dan restoran, masih belum mencapai titik pemulihan. Sehingga agak menyulitkan sektor pariwisata, ujarnya.
Maulana menambahkan, kenaikan PPN sebesar 12% akan berdampak langsung kepada wisatawan nusantara yang selama ini menjadi penggerak utama pemulihan pariwisata. Dengan daya beli yang terus menurun, wisatawan membatasi pengeluaran mereka, termasuk untuk berlibur.
“Ini mengancam arus wisatawan Indonesia yang sangat kami andalkan bisa menjadi inspirasi di seluruh kawasan,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, kenaikan PPN bertujuan untuk meningkatkan biaya tenaga kerja yang pada akhirnya menjadi beban pelaku usaha. Hal ini dapat memaksa perusahaan melakukan inefisiensi, seperti mengurangi efisiensi kerja, bahkan dapat berujung pada penutupan usaha.
“(Dengan kenaikan PPN sebesar 12%), efisiensi kerja (pasti akan dilaksanakan) penerimaan pekerja harian atau pekerja harian akan berkurang, karena hotel juga memiliki penerimaan pekerja harian ketika akomodasi bertambah atau ada peningkatan. dalam aktivitas. Di fasilitas yang ada, “hotel itu sendiri. Tentu saja, jika permintaan berkurang akibat PPN, tentu saja lapangan kerja akan berkurang,” jelasnya.
Terpisah, Presiden dan Pendiri Platran Indonesia Yozua Meks mengatakan kelompoknya belum bisa memprediksi dampak kenaikan PPN, namun menegaskan akan mengikuti kebijakan pemerintah.
“Saya belum bisa menjawabnya sekarang, tapi ada rencana kenaikan di Januari 2025, kita lihat saja, kami para pelaku pariwisata akan mengikuti peraturan pemerintah dan kami berharap pemerintah bisa memberikan sesuatu yang lebih baik bagi sebagian besar seniman travelling. Ini pasti akan menjadi sebuah fitur. efeknya tapi kita hidup di negara, kita mengikutinya, kita harus berjuang dengan apa yang ada, ada baiknya kita harus menghadapinya sebagai bagian dari pergerakan uang yang ada unsurnya, kita lihat dari pemerintah katanya.
Tonton video “Video: Kenaikan PPN hingga 12% membuat Anda khawatir” (wkn/ddn)