Wawonia Tengah –

Pulau-pulau kecil di Indonesia seringkali memiliki cerita menarik tentang bagaimana penduduknya berjuang dalam menghadapi pembatasan. Salah satunya adalah kisah masyarakat Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), Sulawesi Tenggara yang selama bertahun-tahun akses sinyal telepon seluler masih belum merata.

Seperti halnya Kabupaten Wawonii Tenggara, menjadi salah satu daerah terpencil di Konkep pada pertengahan tahun 2010-an. Jubirman, warga Desa Mosolo, mengenang masa-masa sulit ketika jaringan telekomunikasi masih menjadi komoditas langka.

“Pertama kami sangat terisolir, jalanan sulit, kemudian akses internet dan telpon sulit. Jadi kami wilayah Wawonia Tenggara dan Wawonia Timur memang sangat terisolasi,” kata juru bicara detikcom baru-baru ini.

Saat itu masyarakat Mosolo hanya mempunyai satu tempat yang memiliki sinyal radio, yaitu di Desa Roko Roko yang letaknya tidak jauh dari bibir pantai. Warga harus berjalan kaki sejauh 10 kilometer di jalan rusak untuk sekedar menelpon keluarga di Kendari.

“Ada tempat yang ada jaringan telekomunikasi, itu tempat, misalnya kita mau mengabari keluarga atau teman di Kota Kendari, kita terpaksa harus jalan kaki sejauh 10 km, yakni sekitar 3 jam. , waktu masih belum stabil. “Belakangan, jalan sudah normal jadi kami bisa menggunakan sepeda motor,” kata Jubirman, warga Desa Mosolo.

Keadaan ini tidak hanya menjadi kendala bagi komunikasi keluarga, tetapi juga bagi kegiatan pendidikan. Pada tahun 2020, sebuah sekolah menengah baru telah tersedia di desa tersebut. Tadinya anak-anak desa harus bersekolah di Kendari.

Orang tua harus menunggu kabar tentang anaknya melalui sinyal yang sulit ditemukan. Ketika jalur darat sulit diakses, warga memilih menempuh perjalanan melalui laut. Mereka menggunakan ketinting, perahu motor kecil, hanya untuk sampai ke tempat yang ditandai.

“Ada juga kejadian yang berkaitan dengan orang tua, karena selain berkeliling di jalan rusak, ada juga masyarakat yang menggunakan ketinting (perahu) untuk mengangkut dirinya melalui laut menuju tempat (yang ada sinyalnya) sesuai panggilan. ” Jadi para orang tua mau mendengarkan. “Ketika mereka mendengar tentang anaknya atau ingin mengirim uang kepada anaknya, mereka terpaksa mencari jaringan yang jauh,” jelas juru bicara tersebut.

Permasalahan serupa tidak hanya dihadapi oleh masyarakat umum, namun juga oleh pihak keamanan. Rezkiawan, Kepala Bhabinkamtibmas Polsek Wawonia Pusat, mengatakan seringkali mereka harus pergi ke pantai tertentu untuk mendapatkan sinyal.

“Jadi sebelum ada internet, kami biasa lari ke pantai. Di tempat-tempat tertentu ada sinyal. Dan ramai sekali. Di sana sering orang berkumpul untuk mencari koneksi internet,” jelas Rezkiawan.

Jadi dia ambil jaringannya dari Konawe Selatan. Karena Wawonii berhadapan dengan Kabupaten Konawe Selatan. Makanya kita sering berkumpul di sana. Tapi hanya di tempat-tempat tertentu di sana, tambahnya.

Hal serupa juga dirasakan Ansarullah Thamrin Mardhan. Bagi kepala sekolah SMA 1 Wawonia Timur, Internet bukan hanya sekedar kebutuhan sekunder, namun juga menjadi penggerak utama pendidikan. Pada masa Pelatihan Guru (PPG), ia harus berjuang keras untuk mengakses Internet.

“Sebelumnya, saya sangat sulit menemukan sinyal selama dua bulan. Itu satu-satunya yang kami kumpulkan dengan orang-orang untuk saling menguntit di Internet,” kata Ansarullah.

Menurut Ansarullah, masyarakat biasanya berkumpul pada sore hingga malam hari. Pertarungan itu berlangsung hingga tengah malam, ketika tidak terlalu banyak orang yang memperebutkan lencana tersebut, karena mereka secara bertahap mulai pulang.

“Di Desa Wawobeau juga ada tanggul di tepi pantai, dulu ada tanggul laut, kalau malam kita lihat telepon genggam menyala di sana, orang-orang hanya saling SMS. Ada tempat-tempat tertentu di pinggir pantai, kebanyakan di sana, di malam hari, banyak dari kita yang online, katanya.

Dari isolasi hingga era digital

Konawe Kepulauan yang dulunya hampir 90 persen wilayahnya tandus, kini bergerak menuju pemerataan akses telekomunikasi. Perubahan mulai terjadi pada tahun 2017, ketika BAKTI Komdigi membangun akses Internet pertama di Desa Wawobeau.

Saat ini terdapat 119 titik akses Internet di Konkep, meliputi sekolah, kantor desa, tempat ibadah, dan layanan publik lainnya. Sementara itu, BAKTI Komdigi juga telah membangun 35 menara BTS yang tersebar di wilayah tersebut.

“Jadi dengan adanya BAKTI sangat-sangat membantu masyarakat dalam mengakses informasi atau sinyal internet. Dulu akses internet dengan BAKTI sulit, alhamdulillah masyarakat tidak kesulitan mencari informasi melalui internet atau WA dan seterusnya lagi.” hal-hal lain,” pungkas Jubirman.

Detikcom bersama BAKTI Kementerian Perhubungan dan Teknologi Digital (Komdigi) menyelenggarakan program Tapal Batas untuk meninjau pembangunan ekonomi, pariwisata, infrastruktur dan pemerataan akses internet di daerah 3T (tertinggal, perbatasan dan terluar). Nantikan terus berita informatif, inspiratif, unik dan menarik dari Tapal Batas di tapalbatas.detik.com! Saksikan video “Setelah Anambas, Batas Detikcom Kini Jelajahi Kepulauan Konawe” (anl/ega)

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *