Jakarta –
Pencemaran sampah plastik kini telah menjadi masalah global karena bersifat transnasional dan lintas batas negara. Lebih dari 11 juta ton sampah plastik masuk ke laut setiap tahunnya, dan jumlah ini bisa meningkat tiga kali lipat pada tahun 2040.
Jika keadaan ini terus berlanjut, keberadaan sampah plastik dalam jumlah besar dapat berdampak pada kelestarian lingkungan, makhluk hidup, dan kesehatan manusia.
Oleh karena itu, pada sidang kelima Majelis Lingkungan Hidup PBB (UNEA-5.2) yang diselenggarakan pada Maret 2022, dunia menyetujui resolusi 5/14. Resolusi ini diadopsi untuk mengembangkan Instrumen Internasional yang Mengikat Secara Hukum (ILBI).
Langkah ini diambil sebagai respons terhadap kekhawatiran global mengenai dampak plastik terhadap lingkungan laut, kesehatan manusia, dan perubahan iklim.
“Di ILBI, pengaturan bahan kimia berbahaya, khususnya yang digunakan dalam proses produksi plastik dan kemasan plastik, akan diatur secara khusus dalam lampiran perjanjian ini,” kata Direktur Pengurangan Limbah Direktorat Jenderal PSLB Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kehutanan. (KLHK) Vinda Damayanti saat dihubungi detikcom, Kamis (24/10/2024).
Pada kesempatan lain, pakar polimer Universitas Indonesia Prof Dr. Mochamad Chalid, SSi, MScEng mengatakan, ILBI peduli terhadap sampah plastik bukan hanya demi sampah plastik saja. Namun juga kandungan bahan tambahan pada plastik atau disebut juga bahan kimia, baik disengaja maupun tidak. Banyak bahan kimia yang disebutkan dan dikaitkan dengan risiko kesehatan, termasuk Bisphenol A (BPA).
“BPA bisa termasuk bahan kimia yang menjadi perhatian banyak hal. Pertama, yang penting hubungannya dengan kesehatan. Hubungannya dengan kesehatan nomor satu,” kata Prof. Chalid di detikcom Leaders Forum di Jakarta Selatan, Rabu. (30/30). 10/2024).
Selain itu, bahan kimia tersebut kini sering digunakan dalam kemasan makanan, termasuk wadah galon yang dapat digunakan kembali. Jika tata cara penggunaan dan pendistribusiannya tidak memadai, seperti paparan langsung terhadap panas terik matahari atau pencucian galon berulang kali, hal ini dapat meningkatkan risiko migrasi BPA ke dalam air minum yang dikonsumsi.
“Dengan kata lain, konteks sebenarnya dari ILBI itu sendiri sangat umum, sangat besar. Dan salah satunya dengan BPA,” ujarnya.
Senada, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana sekaligus Pengurus PKBI, Dr. I Made Oka Negara, M Biomed, FIAS, mengatakan sudah banyak penelitian pada hewan percobaan dan manusia yang menunjukkan bahwa paparan BPA bersifat kumulatif atau berkepanjangan. -Efek jangka panjang dapat membahayakan kesehatan, termasuk organ reproduksi.
Dr Oka menjelaskan, BPA merupakan senyawa kimia yang strukturnya mirip dengan hormon estrogen. Jika masuk ke dalam tubuh dapat mengganggu keseimbangan hormonal atau disebut juga dengan bahan kimia pengganggu estrogen.
Jadi otomatis ketidakseimbangan hormon estrogen ini akan berdampak pada keseimbangan tubuh, dan salah satu hal terpenting yang bisa menjadi perhatian adalah gangguan kesehatan dalam produksi. Puncaknya apa? Gangguan kesuburan, kata dr. acara yang sama.
Selain berdampak pada kesehatan reproduksi, BPA juga berisiko menyebabkan kanker organ seperti kanker prostat, kanker ovarium, dan kanker payudara. Lebih jauh lagi, dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan kognitif pada bayi atau anak, terkait dengan risiko Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dan autism spektrum disorder (ASD). (Suk/atas)