Jakarta –

Pemuka agama Miftah Miftah Maulana Habiburahman alias Gus Miftah mengundurkan diri dari jabatan Utusan Khusus Presiden. Belakangan ini Gus Miftah kerap menjadi sorotan.

Usai menghina dan mengejek penjual es teh bernama Sunhaji, jejak digital Gus Miftah yang dianggap penyanyi Yati Pesek yang merendahkan kini tersebar luas. Ucapan Gus Miftah dalam video botol tersebut menuai kecaman dari warganet.

“Kulo Niku bersyukur Bude Yati cantik. Nek Ayu dadi lont* ke iki (bersyukur Bude Yati jelek, kalau cantik pasti lont*),” kata Gus Miftah dalam video yang viral.

Yati Pesek pun menanggapi ucapan Gus Miftah. Penyanyi itu menyebut ucapan Gus Miftah tidak pantas. Yati kemudian menyindir Gus Miftah yang bukan ustaz dan kiai.

“Kenapa kamu sekarang bicara seperti itu? Untung saja Gus, kamu sekarang bukan di sini sebagai ustazi atau kiain,” jawab Yati dalam bahasa Jawa.

Dalam hal ini, psikolog klinis Anastasia Sari Dewi menyoroti konteks kata-kata yang tergolong bercanda. Tentu saja dalam konteks ini harus ada konsensus antara kedua arah. Artinya, bukan hanya datang dari satu pihak saja yang menganggap bingkai ini hanya lelucon belaka.

Hal ini juga terlihat dari bagaimana reaksi seseorang ketika mendapat perhatian dari lawan bicaranya.

“Lelucon adalah ketika kalian berdua menganggapnya lucu, kalian berdua tertawa, dan itu antara orang-orang yang memiliki hubungan baik, tetapi jika kalian tidak saling mengenal atau bahkan menggunakan kata-kata yang jelas-jelas berkonotasi negatif, itu termasuk bullying, ejekan. jelas Sari saat dihubungi detikcom, Kamis (12/5/2024).

Sementara itu, dalam pernyataan yang dilihatnya dalam perbincangan Gus Miftah dengan seorang penjual es teh, reaksi pedagang yang bersangkutan justru bertolak belakang. Bukan bahan tertawaan, begitu pula Gus Miftach dan rekan-rekannya.

“Jelas konotasinya negatif, jadi bullying, meledek, nggak lucu lagi, apalagi kalau di sekitar ada yang ngetawain, (penjual es teh) malah nggak nengok ke muka. tidak titik, bahwa dia menikmati kata-katanya “Walaupun kita tahu tentang baking profesional, itu butuh persetujuan,” lanjutnya.

Sarri juga menekankan konteks lelucon tingkat “yang dipanggang”. Secara profesional, sebelum melakukan proses ini juga harus ada kesepahaman antara keduanya agar proses pemanggangan berjalan dengan baik dan tidak saling merugikan. Hal ini biasanya juga dinyatakan dalam kontrak kerja.

“Roasting itu atas dasar persetujuan, topik mana yang boleh dan mana yang tidak, mana yang sensitif, biar bisa dinikmati. Tapi kalau tidak dengan persetujuan, tiba-tiba di tempat umum yang satu ketawa, yang lain ketawa. Jangan ketawa, jangan cuma main-main,” putusnya. Simak video “Video: Faktor Penyebab Bullying di PPDS” (naf/kna)

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *