Jakarta –

Himbauan untuk menerapkan gaya hidup hemat atau biasa disebut dengan gaya hidup hemat juga digaungkan masyarakat sebagai respons terhadap rencana penerapan berbagai kebijakan yang dinilai memberatkan. Termasuk kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025.

Direktur Pengembangan Big Data INDEF, Eko Listianto, mengingatkan bahwa kampanye hidup hemat ini berpotensi semakin “memperlambat” pelemahan perekonomian Indonesia yang terus berlanjut.

“Kalau hidup hemat pasti perekonomian akan semakin terpuruk, terutama di sektor konsumsi karena hidup hemat sangat menyelamatkan masyarakat,” kata Eko, pada Seminar Nasional Proyeksi Perekonomian Indonesia 2025 oleh INDEF di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Kamis ( 21/11) .2024 tahun).

Eko menjelaskan, jika sejak awal tahun 2025 perekonomian Indonesia “terkena” berbagai kenaikan tarif, hal ini akan menyebabkan target omzet unit usaha terkoreksi, sehingga terjadi gelombang yang semakin menurunkan angka konsumsi. . .

“Lagi pula, ini adalah kampanye hemat yang harus dijalani.” Itu hak masyarakat untuk berhemat, daya belinya lemah, mungkin masyarakat yang tidak menaikkan PPN pun sebaiknya menghemat pengeluarannya,” ujarnya.

Lebih lanjut, menurutnya, penerapan gaya hidup hemat bisa membuat Indonesia sulit mempertahankan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen pada tahun depan. Sebab, angka konsumsi diperkirakan berkurang, dari saat ini 4,9% menjadi 4,8%-4,75%.

“(Tapi) itu juga tergantung momentum, apakah hidup hemat, saat liburan, atau yang lebih penting karena konsumsi kita meningkat secara musiman,” imbuhnya.

Selain itu, industri manufaktur juga melemah, terlihat dari Purchasing Managers’ Index (PMI) yang turun menjadi 48,9. Oleh karena itu, menurutnya, Pemerintah harus memberikan insentif untuk mendorong berkembangnya industri manufaktur dan memperkuat daya beli masyarakat.

Ia mengingatkan, pemerintah tidak boleh hanya memilih satu atau dua industri saja untuk diselamatkan, seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang diambang kebangkrutan. Eco menegaskan, pemerintah harus berada di tengah.

“Penurunan PMI merupakan indikator nyata adanya bahaya bagi sektor industri sehingga harus dirumuskan baik dengan stimulus fiskal maupun non-fiskal.” “Kalau situasi fiskal sulit, termasuk pemberantasan pungli, bisa signifikan lho, semoga bisnis,” ujarnya.

Beberapa kebijakan non-pajak yang bisa menjadi pilihan pemerintah untuk diterapkan antara lain penegakan hukum untuk mencegah impor ilegal. Eco menilai langkah ini menjadi bentuk insentif yang penting.

Sedangkan untuk masyarakat kelas menengah sendiri, menurutnya, insentif yang harus diberikan terbilang unik karena tidak bisa dalam bentuk bantuan sosial (bansos). Contohnya dengan tidak menaikkan tarif angkutan umum, kemudian memperbanyak WiFi gratis, bahkan memberikan pulsa.

– Ketiga, misalnya mengacu pada biaya pendidikan. Oke, kalau tidak bisa mengenyam pendidikan, ada kelas gratis agar anak-anak kelas menengah bisa lebih pintar, kata Eco.

Tonton videonya: Pajak PPN akan meningkat menjadi 12% pada tahun 2025

(shc/rd)

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *