Jakarta –
Ibu kota Jepang, Tokyo, akan menerapkan empat hari kerja dalam seminggu bagi pegawai pemerintah. Hal itu dilakukan untuk membantu para ibu bekerja dan meningkatkan angka kesuburan Negeri Sakura.
Pemerintah Metropolitan Tokyo mengatakan peraturan baru ini akan mulai berlaku pada April 2025, dan setelah itu, setiap karyawan akan mendapat libur tiga hari dalam seminggu.
“Kami akan secara fleksibel meninjau gaya kerja untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang harus melepaskan karier mereka karena kejadian dalam hidup seperti melahirkan atau mengasuh anak,” kata Gubernur Tokyo Yuriko Koike dalam pidato kebijakan yang mengumumkan rencana tersebut.
“Sekarang adalah waktunya bagi inisiatif Tokyo untuk melindungi dan meningkatkan kehidupan, mata pencaharian, dan perekonomian masyarakat kita di masa sulit negara ini,” katanya seperti dikutip CNN.
Diketahui, angka kelahiran di Jepang menurun tajam dalam beberapa tahun terakhir. Pada bulan Juni, pemerintah mencatat rekor terendah dalam mendorong generasi muda untuk menikah.
Menurut Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan, hanya 727.277 orang yang tercatat tahun lalu, dan angka kelahiran turun ke level terendah baru yaitu 1,2. Untuk menjaga stabilitas penduduk diperlukan angka kelahiran sebesar 2,1.
Sejauh ini, pemerintah Jepang telah menerapkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi krisis demografi, termasuk menjamin cuti ayah bagi laki-laki. Banyak sosiolog mengaitkan terus menurunnya angka kelahiran dengan budaya kerja Jepang yang tidak kenal ampun dan meningkatnya biaya hidup.
Kelelahan telah lama menjadi masalah bagi perusahaan-perusahaan di Jepang, dan para pekerja seringkali menghadapi masalah kesehatan. Salah satu yang paling ekstrem adalah “Karoshi”, sebuah kata yang mengacu pada kematian karena terlalu banyak bekerja.
Seperti di negara-negara lain, perempuan seringkali menghadapi tekanan untuk memilih antara karir dan keluarga. Namun, budaya lembur yang unik di Jepang dapat mempersulit kehamilan dan mengasuh anak.
Migrasi selama empat hari ini memicu minat terhadap negara-negara Barat. Beberapa perusahaan mulai mengeksplorasi jam kerja yang dikompresi untuk mencari keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal ini meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas pekerja. Namun ide ini masih dianggap radikal bagi perusahaan-perusahaan Jepang yang kerap menyamakan waktu kerja dengan loyalitas terhadap perusahaan.
Tokyo bukan satu-satunya tempat di Asia yang menerapkan kebijakan ramah keluarga. Awal tahun ini, Singapura memperkenalkan peraturan baru yang mewajibkan semua perusahaan untuk mempertimbangkan permintaan karyawan terhadap pengaturan kerja yang fleksibel.
Ini mungkin termasuk empat hari kerja dalam seminggu atau jam kerja fleksibel. “Jepang dan Korea Selatan mencapai rekor angka kelahiran terendah!” Tonton videonya. (sao/suc)