Bogor –

Jika Anda ingin tahu tentang sejarah daerah tersebut, arsitektur kuno, kuliner legendaris atau apapun yang jadul di sekitar Bogor, Anda bisa bertanya pada Johnny Pinot.

Segudang ilmu yang dimiliki pria kelahiran Bogor, 22 Januari 1970 ini, biasanya berupa video yang diunggah ke Instagram.

Secara halus penulis menyerangnya ketika ia menjulukinya “Kunzen Bogor”. “Saya hanya tahu beberapa hal. Saya bukan ahli sejarah dan tidak berpura-pura, saya hanya senang berbagi informasi yang saya temukan di lapangan,” kata Johnny kepada detikTravel saat diwawancarai. Jumat (29/11/2024).

Kami secara khusus mengatur untuk bertemu di tempat itu. Johnny menghubungkan tim detik.com dengan manajemen TWHB sehingga bisa meliput seluruh gedung.

Diakui Johnny, ketertarikannya pada hal-hal yang bernuansa masa lalu memang sengaja dipicu. Ia biasanya berjalan kaki setiap pagi setelah mengantar salah satu anaknya ke sekolah di Regina Passes.

Suatu hari, saat melewati tikungan Jalan Kemerdekaan, ia tertarik dengan deretan toko yang jendelanya masih ditutup papan. Johnny merekamnya dan mengunggahnya ke akun @pinotjohnny. Unggahan tersebut terbukti mendapat respon luar biasa dari para penggemarnya.

“Sepertinya aku ketagihan dan selalu mencari materi lain. Kebetulan beberapa follower yang berkomentar juga memberikan informasi agar aku bisa membuat konten ini atau itu,” kata Johnny.

Di waktu senggangnya, atau saat ia dan istrinya bergantian mengunjungi “Sinar Bogor Sport”, toko perlengkapan olahraga yang ia kelola sejak tahun 1991, ia akan menelusuri satu per satu benda-benda bersejarah di Bogor.

Melihat kembali Monumen Bayangan Kuno, bekas kediaman Letnan Tiongkok Chen Mingxue, Gedung Tongjia Qinghui di Jalan Surya Kenkana, Mausoleum Master Van Moltmann Belanda tahun 1811 di Leuwiliang dan Makam Peringatan Tentara Jerman tahun 1921 di Pasir Muncang.

Jangan lupa untuk mengunjungi makam Raden Saleh dan putra Pangeran Diponegoro, Pangeran Djonet Dipomenggolo yang terletak di Jalan Kosasih Cikaret, serta makam Pangeran Harjo Dipomenggolo dan cucu Pangeran Harjo Abdul Manap yang terletak di Gunung Bogor.

Johnny sesekali menikmati tempat makan legendaris seperti Woody’s Ice Cream Factory dan Maxim’s Bakery yang akan tutup permanen pada akhir Desember. Kedua lokasi tersebut berada dalam satu jalur yang sama: Jalan Raya Bogor – Cibinong. Dia juga suka dengan daging kacang yang dijual Pak Kendi di Gg Aut Bogor Cooking Centre.

“Saya mulai memposting hampir setiap hari karena mengejar algoritma, tapi sekarang seminggu sekali sudah cukup,” kata Johnny.

Saat remaja, Johnny Pino mengaku bercita-cita menjadi seorang jurnalis. Namun, kecerdasannya di bidang eksakta justru membawanya menekuni bidang fisika.

Setelah lulus dari SMA Regina Pacis pada tahun 1988, ia diterima di Institut Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Unpad di Bandung tanpa ujian. Saat itu, Johnny diterima di universitas tersebut melalui jalur pencarian minat dan kemampuan (PMDK).

Namun karena berbagai sebab, studinya terhenti pada semester lima. Ia kemudian melanjutkan ke Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor. Hal itu terhenti lagi pada semester lima.

Sejak lima tahun lalu, Johnny tercatat sebagai salah satu pemegang saham Bogor Daily News, surat kabar yang didirikan lima temannya. Dalam media ini ia lebih suka menulis tentang fakta sejarah. Ayo buat video juga. Namun karyanya jarang dipromosikan karena kualitas gambar yang dihasilkan dinilai kurang memadai. “Saya akhirnya membuat akun IG sendiri,” ujarnya.

Dia saat ini memiliki 87.900 pengikut dan 932 konten. Meski begitu, kata dia, sebenarnya jumlah tersebut adalah jumlah di rekening baru setelah akun lama dihapus.

Pengambilan dan pengeditan video dilakukan secara otomatis. Hal itu terpaksa dilakukan karena ternyata ia tak ambil pusing untuk meminta bantuan orang lain, termasuk putrinya. “Saya menggunakan tutorial di YouTube,” katanya.

Akhir-akhir ini, terlihat beberapa pengikut Instagramnya tidak puas hanya dengan membaca dan menikmati video Johnny. Mereka meminta Johnny untuk memandu mereka langsung ke situs atau artefak bersejarah yang diposting. Johnny kemudian menjadi pemandu wisata di komunitas bernama Japas (Jalan Pagi Bersejarah). Harga tiketnya Rp 125-200.000.

“Saya biasanya menentukan tujuan pada rute sehingga bisa dicapai dengan berjalan kaki. Kalau jaraknya jauh harus menyewa bus dengan harga custom,” ujarnya.

Johnny mengaku sama sekali tidak memanfaatkan pekerjaannya. “Saya senang sekali melihat peserta kaget atau takjub karena mendapat informasi baru,” ujarnya. Tonton videonya: Coba jalan kaki, jalan kaki dan belajar sejarah sambil bersepeda (jat/wsw)

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *