Jakarta –
Carlos Ghosn, mantan presiden Nissan, mengomentari kabar merger Nissan dan Honda. Menurutnya, keputusan tersebut hanyalah langkah putus asa Nissan yang sedang terpuruk akibat penurunan penjualan.
Nissan saat ini sedang bermasalah namun kondisinya tak kunjung membaik. Misalnya, Nissan berencana memangkas 9.000 pekerja, menunda produk masa depan, dan kini berusaha mencari dukungan finansial untuk menstabilkan operasinya.
Belum cukup, Nissan dikabarkan tengah menjajaki kemungkinan merger dengan Honda. Menurut mantan bos Nissan Carlos Ghosn, situasi ini menimbulkan masalah besar bagi Nissan dan Honda nampaknya sangat enggan untuk terlibat.
“Ini adalah langkah yang berbahaya,” kata Ghosn kepada Bloomberg Television pada hari Jumat.
“Ini bukan soal praktis, karena sulit mencapai kompatibilitas antara kedua perusahaan. Mereknya sangat mirip,” kata Ghowan.
“Di satu sisi, Nissan mengambil langkah berisiko untuk mencoba menemukan masa depan,” lanjut Ghosn.
“Honda, di sisi lain, saya paham betul, tidak terlalu tertarik dengan langkah ini, tapi tahukah Anda, Anda harus mengandalkan METI di Jepang.
Maksudnya Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri (METI). Pada dasarnya, Ghosn percaya bahwa Kementerian Perdagangan dan Industri menekan Honda dalam hal ini karena hal ini pada akhirnya akan menjaga kelangsungan salah satu merek terbesar Jepang tersebut.
“Setelah tinggal di Jepang selama bertahun-tahun, saya memahami sejauh mana pengaruh METI,” jelas Ghosn.
“Menurut saya, tidak ada logika industri dalam hal ini, namun ada kalanya Anda harus memilih antara performa dan kontrol, jika Anda bisa mendapatkan keduanya, namun ada kalanya Anda harus memilih keraguan,” kata Ghosn. Kementerian Perdagangan dan Industri dan saya mengetahui semua hal tersebut, mereka lebih memilih untuk mengontrol performa, jadi mereka mendorong Honda untuk melakukan kesepakatan tersebut, tanpa ragu lagi.”
Nissan sedang menghadapi krisis global akibat penurunan penjualan yang terus menerus di dua pasar terbesarnya, Tiongkok dan Amerika Serikat.
Pada paruh pertama tahun fiskal 2024 misalnya, penjualan Nissan turun 3,8 persen menjadi 1,59 juta unit. Tiongkok, salah satu pasar terbesar Nissan, mengalami penurunan tajam hingga mencapai 14,3%.
Situasi ini diperparah dengan munculnya mobil listrik terjangkau asal Tiongkok yang menawarkan harga kompetitif dan berhasil merebut pangsa pasar global. Jika kondisi ini terus berlanjut, Nissan akan menghadapi utang terbesar sepanjang sejarahnya pada tahun 2026 yang bisa mencapai 5,6 miliar dolar AS atau setara dengan 85 triliun rupiah.
Di situs BBC, raksasa otomotif Jepang itu mengatakan akan memangkas 9.000 lapangan kerja di seluruh dunia sebagai upaya penghematan biaya yang akan memangkas produksi globalnya hingga seperlima.
Produksi di Amerika Serikat dan Tiongkok turun 15 persen, produksi di Inggris turun 23 persen, dan produksi di Jepang turun 4 persen. Titik terang bagi Nissan adalah di Meksiko, dimana produksinya meningkat 12 persen menjadi 70.382 kendaraan. Saksikan video “Video: Dibalik Berita Merger Honda-Nissan” (SAR/JAF)