Jakarta-
Netizen menangis. Rencana kenaikan pajak penjualan (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 mendapat penolakan, dimulai dari komunitas internasional di depan Istana Merdeka. Kini bukan hanya opini masyarakat saja yang menolak rencana pemerintah tersebut, namun juga para pengusaha dan opini masyarakat pada umumnya.
Namun setelah mendapat kabar penundaan kenaikan tersebut, pemerintah akhirnya memastikan bahwa mulai 1 Januari 2025, pajak pangan akan dinaikkan secara statistik. Namun gelombang penolakan PPN tidak akan berhenti
Pada Jumat sore (19/12) lebih dari 100 ribu orang menandatangani petisi online di laman change.org, meminta pemerintah segera menghentikan kenaikan tarif PPN. Petisi foto ini berupa peringatan darurat yang beredar di dunia maya pada Agustus 2024, ketika opini publik menolak perubahan undang-undang pemilu.
Setelah diumumkan bahwa PPN akan benar-benar naik pada tahun depan, dalam satu hari lebih dari 40 ribu orang menandatangani petisi yang dimulai pada 19 November 2024. Komentar netizen menilai PPN akan memangkas perekonomian mereka.
“Saya kira kenaikan PPN ini berdampak besar bagi keluarga saya (ibu saya pensiunan PNS).” Tulis ceritanya di change.org, kata Jumat (19/12/2024).
“Saat ini banyak uang di pemerintahan, pintu untuk kesejahteraan masyarakat tidak terbuka, dan pejabat korup yang berkeliaran di masyarakat tidak akan ditampilkan, sehingga orang yang korup tidak akan mendapatkan pendapatan yang sesuai, baca beberapa pendapat.
Ditambah komentar dan bantahan tersebut, ada ribuan tweet lain dari netizen yang menolak kenaikan PPN di platform X. Bukan hanya di platform tersebut. Bahkan beberapa orang terkenal atau publik figur pun mengungkapkan penolakan serupa.
Meski demikian, pemerintah bertekad tetap menerapkan kebijakan tersebut pada tahun depan. Kenaikan tarif PPN pada tahun 2025 akan selalu mempengaruhi jenis barang dan jasa yang dikenakan PPN. Pemerintah tidak menerapkan kenaikan PPN hanya untuk barang berharga atau berukuran besar, seperti diberitakan sebelumnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kenaikan tarif PPN merupakan amanat undang-undang dan diperlukan untuk menjaga kesehatan APBN. Tambahan pendapatan tersebut diharapkan dapat menunjang tiga fungsi APBN yaitu rekrutmen, penyaluran, dan penyaluran.
“Banyak contoh negara yang APBNnya sendiri tidak bagus dan tidak stabil, sehingga APBN bukan solusi tapi justru menjadi sumber permasalahan,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kementerian Koordinator Perekonomian, Pusat. Jakarta, Senin (16/12) kemarin.
Untuk mendukung perekonomian, pemerintah telah mengumumkan beberapa insentif antara lain pengumuman kenaikan PPN tahun 2025 atas kebutuhan pokok masyarakat seperti beras, telur, daging, jasa pendidikan, angkutan umum dan sejenisnya. dibebaskan dari PPN. Namun untuk produk sehari-hari seperti Oilita, gula industri, dan tepung terigu dikenakan PPN oleh pemerintah sebesar 1%, sehingga tarifnya tetap sebesar 11%.
Pembebasan PPN ini memberikan pendapatan negara sebesar Rp 265,6 triliun. Pemerintah memberikan insentif atau insentif bagi UKM, kelas menengah, dan kelas pekerja. Jenis-jenis genset terbagi dalam banyak sektor, mulai dari elektronik, barang, dan otomotif.
“Teka-teki ini sangat menantang.” kata Sri Mulyani dalam kebijakan PPN RI dan negara lainnya
Dengan menaikkan tarif PPN menjadi 12%, pemerintah akan mendapat tambahan pendapatan sebesar Rp75 triliun pada tahun depan. Inspektur Pajak sekaligus pendiri Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam, mengatakan angka tersebut tidak penting untuk meningkatkan penerimaan negara.
Selain itu, kenaikan PPN tidak terlalu mempengaruhi perekonomian negara. Ia yakin ada lebih dari sekadar alasan ekonomi yang menyebabkan meningkatnya penolakan masyarakat terhadap PPN.
“Menurut saya kenaikan 12% itu tidak seberapa dari segi pendapatan,” ujarnya kepada detikcom saat diwawancarai.
Darussalam mengatakan, ada rasa percaya masyarakat terhadap pajak yang dibayarkan dan dipelihara negara. Menurutnya, penghindaran pajak merupakan permasalahan yang disadari masyarakat.
“Soal kepercayaan. Sekali lagi yang terpenting saat ini adalah bagaimana kita berbagi cerita. Itu lebih penting dari pertumbuhan ekonomi itu sendiri,” ujarnya.
PPN merupakan sumber penerimaan lain dari konsumsi masyarakat. Pada dasarnya PPN merupakan pajak atas konsumsi seluruh barang dan jasa. Artinya sebagian besar barang atau jasa yang kita gunakan dikenakan pajak.
Tarif PPN di Indonesia merupakan yang tertinggi diantara negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Tarif PPN Indonesia pada tahun 2025 akan sejalan dengan Filipina yang sebelumnya memiliki PPN yang sama.
Namun, Indonesia memiliki batas atas atau ambang batas Badan Kena Pajak (PKP). Dengan ambang batas yang tinggi, usaha kecil dan menengah tidak perlu menjadi PKP sehingga tidak terbebani dengan administrasi perpajakan dan pembayaran PPN. Hal ini dapat mendukung pertumbuhan usaha kecil dan mendorong kewirausahaan.
Mengutip data DDTC, saat ini ambang batas pajak korporasi di Indonesia tertinggi kedua setelah Singapura, yakni Rp 4,8 miliar. Saat ini batasan PKP global saat ini sebesar Rp 1,6 miliar. Ambang batas PKP Singapura adalah SGD 1 juta atau sekitar Rp 11,67 miliar (kurs Januari 2024).
Batasan PKP yang lebih tinggi ini dibandingkan dengan negara lain yang mengenakan tarif PPN lebih rendah dibandingkan Indonesia. Misalnya, Thailand dengan tarif PPN 7% memiliki batasan PKP sebesar Rp 800,5 juta.
Saat ini di Laos PPN 10%, tidak ada batasan untuk pendaftaran di PKP. Hal ini mengharuskan PKP, baik perorangan, badan hukum, atau perusahaan yang menjalankan usaha dan memasok barang dan jasa di Laos, untuk memungut PPN.
Vietnam memiliki batasan PKP yang rendah, hanya Rp 63 juta dengan tarif PPN 10%. Filipina yang saat ini memiliki tarif PPN tertinggi memiliki batasan PKP sebesar Rp 833 juta.
PPN di Indonesia juga memberikan pengecualian untuk beberapa barang dan jasa pokok. Barang dan jasa meliputi beras, daging, ikan, telur, buah, susu, gula konsumen, dan jasa seperti pendidikan, kesehatan, transportasi umum, lapangan kerja, jasa keuangan, asuransi, kasus polio, dan penggunaan air.
Hal ini menjadikan Indonesia salah satu negara yang banyak menawarkan pembebasan PPN. Menurut Darussalam, tarif 12% dengan jumlah kantor ekspor dan nilai marginal PKP yang tinggi membuat kebijakan PPN di Indonesia tergolong buruk. Namun mengapa masyarakat sangat menentang kenaikan PPN 1%?
Selain itu, kenaikan PPN diperkirakan tidak akan meningkatkan inflasi atau menekan pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Artinya pada periode sebelum kenaikan, yang sumber kenaikannya saat ini bukan dari barang PPN.
“Dari segi ekonomi, PPN perekonomiannya lebih rendah dibandingkan PPh. Makanya ketika Covid datang banyak negara yang fokus pada PPN. Itu kata Darussalam
Bhima Yudisthira, kepala ekonom dan CEO CELIOS, menilai keengganan masyarakat membayar lebih untuk barang yang mereka konsumsi bukan karena status ekonomi. Menurutnya, ia meyakini penghematan uang pembayar pajak yang saat ini dinilai tidak mencukupi tujuan.
“Ini akibat belanja pemerintah, apalagi dalam 10 tahun terakhir banyak yang belanjanya belum memenuhi target atau bermasalah.” kata Bima.
Bhima mengatakan, contoh lain belanja pemerintah yang tidak tetap adalah rasio utang terhadap PDB yang terus meningkat selama 10 tahun terakhir. Pungutan pajak yang digunakan untuk melunasi utang diperkirakan akan menurunkan kapasitas APBN dalam jangka pendek dan jangka panjang.
“Belanja utang meningkat 256% selama 10 tahun terakhir. Hal ini antara lain disebabkan pemerintah menggunakan utang tanpa melakukan riset dan temuan mendalam untuk APBN jangka panjang. katanya.
Saat ini, utang yang digunakan untuk membangun usaha, misalnya, dinilai belum cukup memberikan dampak langsung kepada masyarakat. Menurutnya, sektor tersebut sedang berkembang pesat dan manfaatnya tidak terlalu bagus.
“Ada kecenderungan mengembangkan kegiatan yang banyak menguras APBN, padahal manfaatnya kecil. Tidak menimbulkan manfaat ekonomi.” katanya.
Menurut Bhima, belanja pemerintah lainnya yang tidak tepat adalah subsidi energi. Pemerintah dinilai gagal melaksanakan reformasi subsidi energi. Salah satunya adalah ketenagalistrikan, yang seharusnya membiayai perluasan kelistrikan di Jawa dan Bali saat ini.
“Setiap tahunnya terbuang Rp 21 triliun karena banyaknya pembangkit listrik di Jawa-Bali. Ini merugikan negara.” kata Bima.
Alokasi anggaran lain yang tidak tercatat adalah beratnya beban belanja pegawai, terutama pasca diperkenalkannya nama baru Kementerian. Belum lagi beberapa kasus korupsi pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintahan.
“Pada saat ketidakpercayaan terhadap pemerintah berada pada titik tertingginya, penolakan terhadap beban pajak baru akan selalu menjadi sebuah sudut pandang: mengapa membayar pajak lebih banyak jika bank tidak digunakan secara efektif?” kata Bima.
Indonesia bisa mencontohkan negara-negara Skandinavia yang dikenal sebagai negara yang menempati posisi tertinggi dalam World Happiness Report; adalah laporan tahunan yang mengukur tingkat kebahagiaan global berdasarkan beberapa indikator utama. Negara-negara seperti Finlandia, Denmark, Swedia dan Norwegia menempati peringkat pertama hingga kelima dalam laporan tersebut.
Faktanya, negara-negara tersebut terkenal dengan sistem perpajakan progresif dan tarif pajak yang tinggi dibandingkan negara lain. Tarif PPN di negara-negara tersebut termasuk yang tertinggi di dunia, mencapai 27%. Pemerintahan yang transparan dan efisien, pelayanan publik yang baik, dan keseimbangan kehidupan kerja membuat masyarakat di negeri ini bisa hidup bahagia dan sejahtera meski terkena pajak yang tinggi.
Tidak ada negara di dunia yang bisa hidup tanpa pajak. Perpajakan merupakan tulang punggung penerimaan negara dan merupakan sumber pendanaan utama bagi pengembangan dunia usaha, pelayanan publik, pendidikan, dan kesehatan yang patut dinikmati masyarakat. Paradoksnya, pajak seringkali ditolak oleh masyarakat, baik karena mereka tidak mengetahui pentingnya pajak maupun karena mereka tidak percaya bagaimana cara mengelola dana tersebut.
Acara ini menarik bagi semua pihak; Pemerintah harus meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan kualitas pelayanan publik untuk membangun kepercayaan, sedangkan masyarakat harus memahami bahwa membayar pajak adalah bentuk tanggung jawab bersama yang bermanfaat bagi bangsa. Tanpa keselarasan antara keduanya, sulit mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
(diedit oleh/gambar)