Jakarta –
TP-Link, salah satu produsen router terpopuler di Amerika Serikat, mengancam akan berhenti menjual router di negara tersebut karena routernya diyakini memiliki celah keamanan yang berbahaya.
The Wall Street Journal melaporkan, mengutip berbagai sumber, bahwa penyelidik dari Departemen Perdagangan, Pertahanan dan Kehakiman telah membuka penyelidikan terhadap TP-Link dan mungkin melarang penjualan router TP-Link di Amerika Serikat.
Sumber tersebut juga menyebutkan bahwa salah satu departemen di Kementerian Perdagangan mengirimkan undangan ke TP-Link.
Amerika Serikat merupakan pasar yang sangat penting bagi TP-Link, dimana perusahaan asal Shenzhen, China ini menguasai 65% pangsa pasar router. Faktanya, 11 dari 20 router terlaris di Amazon merupakan merek TP-Link, termasuk seri AX3000 dan AX1800 yang menempati posisi terlaris pertama dan kedua.
Oktober lalu, Microsoft mengungkapkan jaringan berisi sejumlah perangkat yang dapat disusupi oleh peretas Tiongkok untuk menyerang pengguna Microsoft Azure, termasuk lembaga pemerintah dan perusahaan pemasok yang terkait dengan Departemen Pertahanan.
Jaringan bernama CovertNetwork-1658 telah mencuri kata sandi banyak pengguna Azure sejak tahun 2023. Ini termasuk menggunakan botnet ribuan router, kamera, dan lebih dari 16.000 perangkat internet berbeda, yang sebagian besar adalah router TP Link.
Sejauh ini, beberapa celah keamanan ditemukan di router TP-Link. Misalnya, pada Mei lalu, router gaming Archer C5400X milik TP-Link ditemukan memiliki kelemahan keamanan berbahaya dengan nilai CVSS 10. Kerentanan ini, jika dieksploitasi, dapat memungkinkan peretas menyuntikkan malware dan mengambil alih perangkat korban.
Kemudian, pada tahun 2023, muncul laporan bahwa peretas Tiongkok telah menginfeksi router TP-Link dengan firmware yang mengandung malware. Beberapa bulan lalu, pemerintah AS mengatakan ada botnet Mirai yang menggunakan router TP-Link untuk melancarkan serangan ransomware.
Harga router TP-Link yang relatif murah menjadi salah satu alasan mengapa router TP-Link populer di pasaran. Namun alasan ini memaksa Departemen Kehakiman Amerika Serikat untuk menyelidiki apakah strategi penetapan harga ini melanggar peraturan antimonopoli, yakni menjual produk dengan harga di bawah biaya produksi. “Keamanan siber dapat dipelajari dari peretas, kata pakar” (asj/rns)