Gunungkidul –

Gunungkidul dipenuhi larva kutu. Meski menghibur para pelancong, ternyata ulat ini bisa menghasilkan uang. Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Baru-baru ini viral sebuah video yang memperlihatkan pengendara sepeda motor mengenakan jas hujan dan membawa kayu bakar untuk menghindari “serbuan” jentik jati saat berkendara di sepanjang jalan Gunungkidul.

Pemandangan sekawanan jentik jati pastinya akan membuat traveler senang. Namun di sisi lain, fenomena ini juga bisa menjadi berkah.

Kepala Dinas Pengembangan Destinasi Pariwisata Dinas Pariwisata (Dispar) Gunungkidul Supriyanta mengatakan, kemunculan ulat jati terjadi setiap tahun.

Oleh karena itu, kami meminta masyarakat tetap tenang. Karena kemunculan ulat bulu merupakan fenomena musiman dan biasanya tidak berbahaya, kata Supriyanta kepada wartawan, Selasa (19/11).

Ia mengatakan, kontak dengan jentik jati dapat menimbulkan reaksi alergi atau iritasi kulit pada sebagian orang. Ia juga mengimbau pengendara sepeda motor untuk mengenakan pakaian tertutup sebagai tindakan pencegahan.

Jangan sampai kita lupa, ia juga berpesan kepada warga dan pengemudi untuk menghindari kontak langsung dengan ulat bulu tersebut. Misalnya saja menyentuh belatung atau daun yang diduga belatung.

“Jika menemukan jentik, biarkan saja di habitatnya. Oleh karena itu disarankan juga untuk membawa salep anti alergi atau anti histamin sebagai tindakan pencegahan,” kata Supriyanta. Ternyata larva kutu bisa mendatangkan keuntungan.

Di sisi lain, kemunculan jentik jati dan trembesia menjadi berkah bagi warga. Sebab selain dimakan, larvanya juga bisa dijual.

Demikian disampaikan warga Mokol, Selang, Kapanewon Wonosari, Suroso. Ia mengaku sudah beberapa hari terakhir mencari ulat pohon jati dan kepompong ulat pohon asam di kebunnya.

“Kami mencari larva jati dan larva trembesia untuk dikonsumsi sendiri, karena hanya datang setahun sekali. Tapi kalau banyak, bisa kami jual,” kata Suroso kepada wartawan, Senin (18/11).

Bedanya, ulat trembesa berwarna hijau dan menempel di kayu, sedangkan ulat jati menempel di daun. Rasanya juga dikatakan lebih enak dibandingkan kepompong ulat jati.

Hal senada juga diungkapkan warga Ratih lainnya. Ia mengatakan, membeli jentik jati cukup mahal.

“Coba cari ulat jati dan ulat trembesi karena kalau beli katanya harganya sampai Rp 100 ribu (per kilogram),” ujarnya.

——-

Artikel ini dimuat di detikJogja. Tonton Video: Belajar Tentang Sungai di Atmosfer dan Dampaknya (wsw/wsw)

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *