Jakarta –
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) resmi naik menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Diketahui, kenaikan PPN akan menyasar berbagai barang mewah yang juga dapat mengancam kebutuhan pokok dan sekunder masyarakat.
Kepala Ekonom Bank PT Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya Indrastomo mengatakan kenaikan PPN pada awal tahun 2025 berisiko melemahkan konsumsi rumah tangga yang diketahui berkontribusi terhadap pendapatan nasional (PDB).
“Menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada awal tahun 2025 dapat melemahkan konsumsi rumah tangga,” kata Banjaran dalam acara Shariah Economic Outlook 2025: Critical Eleven di Kantor Pusat BSI, The Tower, Jakarta, Senin (23/12/2024).
Meski demikian, Banjaran mengapresiasi langkah pemerintah yang memungut PPN atas barang mewah sebesar 12%. Sebab, kenaikan PPN hanya menyasar beberapa barang mewah.
Namun, Banjaran mengatakan permintaan primer dan sekunder mengalami penurunan sehingga berdampak pada pengenaan PPN sebesar 12%. Bahkan, menurutnya, penurunan sudah mulai terlihat.
“Kenapa? Di kebutuhan primer dan sekunder, kita lihat ada penurunan nama,” tuturnya.
Indikasi penurunan tersebut terlihat pada kenaikan cukai rokok pada tahun ini. Ia mengatakan, kebijakan tersebut memaksa masyarakat yang menganggap rokok sebagai kebutuhan sekunder untuk mengurangi konsumsinya.
“Kalau pajak rokok dinaikkan, yang terjadi bukan yang penting orang merokok, tapi orang membeli rokok dari golongan satu sampai golongan dua. Jadi kalau kita atur syaratnya, kalau tadi misalnya dia sudah melakukannya. sekunder. Primer, sebelum membeli beras yang mahal lebih tinggi, misalkan “sekarang mereka mulai mencari yang kualitasnya lebih rendah (lebih rendah),” tutupnya.
Banjaran mengatakan, PPN 12% secara umum akan menyebabkan kenaikan harga barang. Di sisi lain, PPN juga menyebabkan kenaikan harga akhir bahan baku yang berujung pada penurunan PDB pada awal penerapan kebijakan.
Artinya, ada penyesuaian di sisi pasokan untuk menyesuaikan harga bahan baku dan produk, tutupnya. (membunuh/membunuh)