Jakarta –
Hasil penelitian Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan Tenggara Strategics menunjukkan bahwa biaya logistik di Indonesia masih sangat tinggi. Biaya logistik Indonesia menyumbang sekitar 23% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Menurut Eva Novi Karina, peneliti senior Strategi Tenggara, pemerintah sebenarnya berencana menurunkan biaya logistik hingga 20% dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, namun hal tersebut tidak tercapai.
Data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas menunjukkan akan terjadi penurunan biaya logistik dalam negeri sebesar 14,1% pada tahun 2022. Novi mengatakan, angka tersebut hanya mencakup biaya logistik dalam negeri. Berdasarkan riset CSIS dan Tenggara Strategics, pada tahun 2011 hingga 2021 biaya logistik Indonesia berada pada kisaran 23-24%.
“Belum termasuk biaya logistik ekspor yang mencapai 8,58% PDB. Jika kedua komponen ini digabungkan, maka biaya logistik Indonesia masih berkisar 23%, artinya biaya logistik Indonesia belum mengalami perlambatan yang signifikan,” ujarnya. diskusi virtual. , Jumat (22/11/2024).
Dari komponen 14,1% tersebut, kontribusi terbesar berasal dari biaya transportasi darat yang mencapai 7% PDB atau 50% biaya logistik dalam negeri. Komponen utama lainnya termasuk transportasi laut sebesar 3,6% PDB, transportasi udara sebesar 0,8%, pergudangan sebesar 1,5%, dan administrasi sebesar 1,2% PDB.
Eva mengatakan, pemerintah telah membangun infrastruktur jalan, khususnya jalan tol. Proyek ini dikatakan telah mengurangi biaya bahan bakar kendaraan logistik secara signifikan.
“Pembangunan infrastruktur jalan diakui telah membantu pelaku logistik untuk mampu menekan biaya bahan bakar dan menghemat perawatan kendaraan karena kendaraan dapat melaju dengan kecepatan stabil, ” ujarnya
Namun industri logistik masih menghadapi tantangan yang membuat biaya logistik masih tinggi, yaitu tarif tol yang tinggi. Kondisi inilah yang menjadi keluhan perusahaan logistik.
“Tak sedikit dari mereka yang lebih memilih, khususnya untuk Trans Jawa, lebih memilih jalur konvensional melalui jalan Pantura dibandingkan harus masuk tol Trans Jawa yang katanya sangat tinggi dan ini berarti peningkatan volume – muatan di angkutan darat terbatas,” ujarnya.
Dalam makalah penelitian CSIS dan Tenggara Strategics, jika perusahaan logistik harus membayar dua kali lipat, maka biaya operasionalnya akan meningkat, apalagi jika perjalanan pulang pergi tidak membawa muatan penuh.
Menurut penelitian, kondisi tersebut meningkatkan biaya operasional yang pada akhirnya dibebankan kepada konsumen, sehingga berdampak pada harga akhir barang yang harus dibayar konsumen.
Analis Kebijakan Ahli Madya Pusat Kebijakan APBN BKF Kementerian Keuangan, Widodo Ramadyanto menjelaskan, pemerintah memberikan insentif perpajakan kepada sektor logistik melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 71 Tahun 2022 yang mengatur tentang pajak pertambahan nilai (PPN) atas jasa perpajakan tertentu (JKPT)
“Kebijakan pajak 10% untuk jasa logistik PMK 71-2022. Selain itu, jangan lupa untuk logistik kita berikan subsidi kompensasi BBM untuk truk yang masih solar yang harganya jauh lebih murah, subsidinya masih besar. BBM dengan harga khusus bersubsidi,” jelasnya.
Selain itu, menurutnya, beberapa proyek yang dibangun pemerintah untuk memperlancar logistik turut berkontribusi dalam menekan biaya logistik. Infrastruktur yang dibangun meliputi jalan, jembatan, dan pelabuhan.
Infrastruktur itu bisa melalui belanja pemerintah langsung di APBN atau melalui transfer ke daerah, melalui APBD atau melalui pembelian seperti KPPU untuk kerjasama atau badan usaha pemerintah untuk pembangunan jalan tol, misalnya untuk menunjang logistik, ”pungkasnya. (di sana/kamu)