Jakarta –

Perselisihan antara PT Graha Sidang Pratama (GSP) dan Pusat Pengelolaan Komplek Gelanggang Olahraga Bung Karno (PPKGBK) terkait pengelolaan Jakarta Convention Center (JCC) menimbulkan kekhawatiran para pelaku usaha dalam penyelenggaraan pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran (MICE). sektor. , ) Industri.

Jeffrey Eugene, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Pameran Indonesia (ASPERAPI), mengatakan sikap JCC terkait rencana pengelolaan venue PPKGBK membuat banyak anggotanya khawatir. Pasalnya, pergantian manajemen dapat mengancam standar pelayanan JCC yang selama ini menjadi kiblat pengelolaan MICE di Indonesia, bahkan di Asia.

“Kompleks GBK sebenarnya banyak tempat untuk kegiatan MICE. Tapi anggota ASPERAPI selalu lebih memilih JCC, selain potensinya yang besar, yang utama sudah diupayakan manajemen selama bertahun-tahun. Standar pelayanan yang diterapkan manajemen JCC adalah sangat tinggi, makanya event organizer (EO) baik dalam maupun luar negeri selalu repeat order,” kata Jeffrey dalam keterangan tertulisnya, Jumat (22/11/2024). Telah melakukan.

Jeffrey menilai perubahan manajemen tersebut kemungkinan besar akan menurunkan standar kualitas layanan dan mendorong banyak pengguna JCC untuk berpindah ke tempat lain.

Lebih lanjut, melihat pengalaman dan peristiwa industri MICE Indonesia, Jeffrey mengatakan hampir semua venue besar dikelola oleh pihak swasta. Misalnya saja ICE BSD milik PT Indonesia International Expo, serta JIExpo yang dimiliki dan dikelola oleh PT Jakarta International Expo.

Jeffrey mengatakan, pembangunan lokasi baru di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) II dengan luas lebih dari 120 meter persegi juga saat ini sedang diselesaikan dan juga akan dikelola oleh pihak swasta.

“Sebagai pelaku usaha, ASPERAPI akan selalu mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan kontribusi industri MICE terhadap perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, kami berharap pemerintah juga mampu menjaga lingkungan industri yang kondusif dan menjamin pelayanan yang tinggi dan profesional standar diterapkan, akuntabel dan terukur, seperti yang disediakan oleh tempat-tempat yang lebih besar seperti JCC, katanya.

Ia juga menegaskan, mengelola industri MICE tidaklah mudah. Karena tidak hanya terkait persaingan dan rekam jejak saja, tapi juga jaringan bisnis yang dibangun selama ini. Oleh karena itu, ancaman perubahan arah di JCC menjadi perhatian serius ASPERAPI.

Apalagi di industri MICE Indonesia, belum banyak pemain komersial yang mampu mengelola venue sebesar JCC. Faktanya, sebagian besar pengelola venue di Jakarta dan banyak kota lain di Indonesia telah belajar dan berhubungan dengan pengelola JCC saat ini.

“Jangan dikira dengan pergantian kepengurusan JCC maka seluruh pemasok akan langsung melanjutkan kerjasamanya. Apalagi jika pengelola yang baru memiliki kualifikasi dan tanggung jawab yang lebih rendah dibandingkan pengelola sebelumnya. Harus diambil dan jangka pendek,” tegasnya.

Sebagai informasi mengutip DetikTravel, izinkan kami memberi tahu Anda bahwa perselisihan ini bermula ketika PPKGBK mengumumkan berakhirnya masa kerja sama pengelolaan Jakarta Convention Center yang terletak di Blok 14 (Blok 14). Sebab, jangka waktu perjanjian kerja sama konstruksi pengalihan antara PPKGBK dengan investor dan pengelola JCC PT GSP telah berakhir pada 21 Oktober 2024.

Namun pernyataan berbeda diberikan oleh PT GSP. Melalui suratnya kepada PPKGBK, perseroan menyampaikan persetujuan penyerahan aset Blok 14 kepada PPKGBK dan menyatakan komitmen PT GSP atas penyerahan aset Blok 14 itu dalam bentuk perpanjangan.

Beberapa waktu lalu, PT GSP juga menggugat PPKGBK ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terkait pemutusan perjanjian kerjasama konstruksi untuk serah terima (build,operate, transfer/BOT) secara sepihak. Pada tanggal 22 Oktober 1991, telah ditandatangani kesepakatan antara keduanya mengenai pengelolaan kawasan tersebut. (SHC/RRD)

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *