Jakarta –
Para pedagang di pasar sepi di Jakarta Barat kehilangan pendapatan karena sepinya wisatawan. Oleh karena itu, banyak toko-toko yang tutup dan gang-gang gelap di kawasan komersial ini.
Seorang penjual sepatu dan tas di Slip Market, Arizona, menjelaskan, pasar tersebut sudah bertahun-tahun bebas turis sebelum masuknya Covid-19 ke Indonesia pada tahun 2020. Namun, segera setelah wabah ini terjadi, kondisi pasar mulai memburuk.
Menurut dia, permasalahan minimnya wisatawan terus berlanjut dan semakin hari semakin serius. Akibat sepinya pengunjung, Arizona mengaku penjualannya turun 60% dibandingkan sebelum pandemi.
“Keseharian sekarang sepi. Mau akhir tahun atau lebaran sepi. Sudah berapa tahun lebaran sepi,” kata Arizona kepada detikcom, Senin (30/12/2024) saat ditemui di lokasi.
“(Omzet) turun 60%, mungkin lebih,” tegasnya.
Belum lagi persaingan dan toko online yang membuat berbelanja di pasar semakin sulit. Setiap bulan mereka harus membayar tagihan dan listrik, belum lagi sewa toko dan pengeluaran sehari-hari. Alhasil, tokonya terus menerus rusak karena masalah tersebut.
“Jadi kalau dihitung-hitung, toko ini rugi, bukan untung. Setiap orang saya untung, mereka tinggal bayar gajinya saja,” tegasnya.
Menurut dia, permasalahan ini tidak hanya terjadi di tokonya saja, tapi hampir seluruh pedagang di pasar slip. Hal ini tercermin dari banyaknya pengusaha yang gulung tikar atau bangkrut.
“Dulu, sebelum pandemi, toko yang tutup hanya 10-15% yang berjualan. Sekarang, toko yang masih buka sekitar 45%, sisanya tutup,” kata Arizona.
“Ini (toko di depan toko Arizona) milik bos saya ketika dia mulai berjualan pada tahun 1988-1989, tapi sekarang sudah tidak buka, dia tidak punya listrik lagi. Dulu di sini ada delapan orang yang menjual sepatu dan Saya berumur sembilan tahun, tapi sekarang saya satu-satunya yang menjual tas tersebut Sekarang saya hanya punya tiga toko,” jelasnya.
Sementara itu, Uyus, salah satu penjual pakaian di Pasar Slip, mengatakan sepinya pengunjung pasar juga terlihat sebelum adanya wabah. Namun, angka ini meningkat secara signifikan ketika wabah terjadi pada tahun 2020.
Alhasil, Uyus yang sudah berdagang di pasar tersebut sejak akhir 1990-an mengalami penurunan penjualan yang cukup tajam, meski ia tidak bisa menyebutkan berapa besarnya.
Namun, keuntungan yang mereka peroleh dipastikan cukup untuk menutupi kapitalisasi pasar. Untung saja toko tersebut milik pemiliknya sehingga tidak perlu membayar sewa.
“(Omzetnya menurun) banyak, belum bisa dikatakan, setiap hari buat jajanan saja susah. Artinya, kalau kita saling jualan, itu seperti memberi uang jajan kepada anak-anak. Seminggu, lalu susah. .Untuk menjualnya,’ katanya.
“Tidak ada jualan dalam satu hari, satu orang baru datang, saya minta untung Rp 5.000 tapi dia tidak mau, dia langsung pergi. Ini biaya modal saya, akhirnya saya bayar Rp. “Saya tidak mau ambil 65.000 mendapat untung Rp 5.000,” lanjut Uyus lemah.
Untung saja toko tersebut milik pemiliknya, jadi mereka hanya membayar biaya pasar dan tidak membayar sewa lainnya. Selain itu, mereka memiliki banyak pelanggan yang menjahit pakaian yang menghasilkan pendapatan tambahan untuk bertahan di pasar slip.
“Kalau tidak perlu buat tambalan dari luar negeri, maka yang jual tidak bisa bertahan. Kalau saya tidak terima jahit atau ada yang minta payet, tidak mungkin ditutup,” ujarnya.
“Sekarang masyarakat tidak mampu memenuhi toko, bayar CMS (biaya pasar). Yang kecil-kecil jangan khawatir, yang besar sudah besar,” kata Uyus (fdl/fdl).