Jakarta –

Presiden Indonesia Prabowo Subianto telah mengumumkan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Ia memastikan kebijakan tersebut akan berlaku efektif pada 1 Januari 2025 meski mendapat tentangan.

Menurut Prabowo, kebijakan PPN 12% pada tahun 2025 telah disetujui oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Peraturan Perpajakan (SES). Oleh karena itu, pemerintah akan terus menerapkannya.

“Kami diberitahu bahwa PPN adalah undang-undang, dan ya, kami menerapkannya, tetapi hanya selektif untuk barang mewah,” kata Prabowo.

Namun tarif PPN 12% hanya berlaku selektif pada barang mewah saja. Bagi masyarakat menengah ke bawah, kata Prabowo, masih aman.

“Bagi kami semua, kami akan terus melindunginya. “Sejak akhir 23 tahun, pemerintah belum mengumpulkan apa yang seharusnya dikumpulkan untuk melindungi dan membantu rakyat kecil,” ujarnya.

Keputusan itu diambil usai pertemuan Dewan Perwakilan Rakyat (RRC) dan Presiden Prabowo Subiano pekan lalu di Istana Negara, Jakarta.

Selain itu, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmed memberikan informasi mengenai kriteria barang mewah yang dikenakan PPN 12% yakni Pajak Penjualan Barang Mewah (PPNBM). Selain itu, pemerintah mempunyai peluang untuk memperluas cakupannya.

“Pembahasan pertama tentang yang pertama dimasukkan ke dalam PPnBM. Lalu dicek untuk menentukan mana yang bisa diperluas, tetap 11%,” kata Desko usai rapat dengan tiga Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Gedung DPR, Jakarta, Jumat (6/12).

Desco mengatakan barang mewah seperti mobil dan hunian mewah akan dikenakan PPN sebesar 12%. Adapun Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok, barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh orang yang berpendapatan tinggi, dan barang yang dikonsumsi untuk menyatakan status.

Barang lainnya masih dikenakan pajak sebesar 11%. “Barang kebutuhan pokok dan jasa terkait yang berdampak langsung kepada masyarakat tetap dikenakan pajak sebesar 11%,” jelasnya.

Di sisi lain, Wakil Ketua DEN Marie Elka Pangestu mengatakan perlu dicari titik keseimbangan guna menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas dunia usaha sehubungan dengan penerapan rencana kenaikan PPN. , serta pendapatan negara.

“Kami sepakat untuk mencari keseimbangan yang tepat antara pajak, mungkin misalnya PPN atas barang mewah. Tapi tentu saja akan diumumkan oleh pemerintah,” ujarnya.

Ia mengatakan, Prabowo sangat memperhatikan persoalan ini. Khususnya, mencari keseimbangan yang tepat antara menjaga pendapatan pemerintah dan menyeimbangkan daya beli dunia usaha dan masyarakat.

Kenaikan tarif PPN sebesar 1% akan meningkatkan penerimaan negara

Sebelumnya, Menteri Keuangan Mulyani telah mengeluarkan kebijakan penyesuaian tarif PPN dengan mempertimbangkan kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja negara (APBN). Ia mengatakan, APBN merupakan shock shock perekonomian sehingga harus dijaga agar tetap sehat.

Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Makroekonomi dan Fiskal Kementerian Koordinator Perekonomian Ferri Ivan menjelaskan tujuan kenaikan PPN untuk mengoptimalkan penerimaan negara dengan tetap menerapkan sistem perpajakan secara adil.

Terkait hal tersebut, Prianto Budi Saptono, Pengawas Keuangan dan Direktur Eksekutif Pratama-Creston Tax Research Institute, mengatakan kenaikan PPN sebesar 1% akan meningkatkan penerimaan pajak pada pos penerimaan APBN. Selanjutnya, peningkatan penerimaan PPN diharapkan dapat meningkatkan tarif pajak.

“Kenaikan tarif pajak bertujuan agar pemerintah lebih leluasa mengatur pengeluaran negara dalam APBN. Oleh karena itu, pemerintah mempunyai keleluasaan dalam mendistribusikan kembali pajak untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat,” ujarnya kepada dticcom.

Fajri Akbar, pengontrol pajak Center for Tax Analysis Indonesia (CITA), mengatakan hal serupa. Ferry meyakini kenaikan tarif PPN sebesar 1% akan berdampak positif terhadap penerimaan pajak. Ia juga memperkirakan tambahan penerimaan dari kenaikan PPN sebesar 12% akan menambah kas negara lebih dari Rp 80 triliun.

Hal ini memperhitungkan penerimaan kas negara yang mencapai Rp 80,08 triliun pada akhir Maret 2023 setelah pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 11% mulai April 2022. Oleh karena itu, ia menduga potensi penerimaan kenaikan tarif PPN pada 1 Januari 2025 akan lebih tinggi dibandingkan kenaikan tarif PPN sebesar 11% pada tahun 2022. Apalagi dengan kenaikan harga pada tahun depan, otomatis volume penerimaan PPN juga meningkat.

Kemungkinannya akan lebih tinggi karena akan diterapkan mulai April 2022. Akan terkena dampak kenaikan harga atau inflasi juga, katanya seperti dikutip dari situs Ikatan Konsultan Pajak Indonesia.

Daftar barang dan jasa tidak dikenakan PPN 12% Susu : dingin atau panas, susu sapi perah tanpa tambahan gula atau bahan lain : selain dikeringkan, dicuci, dipotong, dikupas, dicincang, dicincang dan didenaturasi Sayuran : disortir, dicuci, ditiriskan, disimpan pada suhu rendah dan dibekukan sayuran segar Gula halus : dicuci, disortir, diiris dan dipotong dadu Ubi jalar baru : segar, tidak dikeringkan atau digiling: gula putih terbuat dari bahan pewarna tebu.

Daftar barang tersebut dikenakan PPN sebesar 12%.

Barang yang dikenakan PPN diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 jo perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Berdasarkan Pasal 4 ayat 1, barang-barang berikut ini dikenakan PPN. Penyerahan Jasa Kena Pajak (STS) oleh pengusaha dalam daerah pabean. Penggunaan barang tidak berwujud di luar daerah pabean dalam daerah pabean. Ekspor barang tidak berwujud yang dilakukan oleh pengusaha dari daerah pabean dikenakan pajak. Ekspor harta tidak berwujud pengusaha kena pajak. JKP ekspor Badan Kena Pajak.

Tonton Video: PPN Dinaikkan Menjadi 12%: Langkah Menuju Indonesia Lebih Baik!

(prf/ega)

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *