Jakarta –

Proyek pembangunan Pasar Munjul Jakarta Timur yang terhenti hampir 10 tahun membuat usaha para pedagang, khususnya di warung kering, terpuruk. Akibatnya, banyak pedagang yang tidak bisa terus berjualan dan memilih gulung tikar.

Salah satu pedagang produk plastik di kawasan lapak kering mengatakan, omzet penjualan tokonya hanya sepersepuluh dari sebelum proyek kebangkitan pasar dimulai, yakni turun 90%.

“(Apakah ada dampak konversi akibat perkembangan ini?) Ya, sekarang baru sepersepuluhnya. pada Senin (13/1/2025).

Ketika ditanya apakah penurunan omzet ini terjadi pada masa konstruksi atau karena dampak pandemi yang masih berlangsung, ia mengatakan penurunan omzet tersebut terjadi sejak kargo diangkut ke tempat penampungan sementara.

“Jadi pas keluar, nggak ada konversi. Masyarakat jadi gejolak, belum lagi pembeli, bahkan kami yang jualan pun takut. Makanya kami lama tidak aktif.” izin pindah,” jelasnya.

“Nah, setelah transisi usahanya sedikit meningkat. Setelah itu pandemi turun lagi, sampai sekarang. Jadi banyak alasannya, hanya saja sektor penyimpanan kering dan daging – ikan lebih cocok, jadi pembelinya paling sibuk di pagi hari, di warung basah, di tempat sayur-sayuran,” ujarnya.

Akibatnya banyak pedagang lapak kering yang kini gulung tikar karena tidak mampu bertahan. Padahal, dari ratusan pedagang yang berjualan di kawasan tersebut, saat ini hanya tersisa sekitar 30-50 pedagang.

Hal itu diketahuinya dengan menghitung biaya listrik patungan bagi pedagang lapak kering. Sebab pembeli yang berjualan di lapak semi permanen harus menyiapkan jaringan listrik sendiri.

“Kalau yang kering mungkin sekitar Rp 200-an, kalau saya hitung dari pembayaran listrik sekitar Rp 30-an, sekitar Rp 50-an. Karena listriknya juga ada karena kita sewa sendiri, kita pakai listrik partai. dengan para pedagang,” jelasnya.

Sementara itu, pedagang lain yang berbasis di lapak kering juga mengatakan hal serupa, dengan mengatakan bahwa omzet penjualan mereka kini turun signifikan dibandingkan sebelum pasar pulih.

“Usahanya sudah lama terpuruk. Yang datang ke sini sudah tua-tua. Ini namanya pasar tradisional, jadi kami tidak mau ada bangunan seperti itu. Yang penting dibangun dengan benar. Kami tidak mau. tidak perlu yang modern.

Parahnya, meski proyek revitalisasi Pasar Munjul mangkrak dan memaksa para pedagang mendirikan lapak semi permanen, mereka tetap harus membayar iuran bulanan ke Pemprov DKI.

Hal ini tentu meresahkan banyak pedagang karena merasa tidak mendapat keuntungan apa pun dari pemerintah. Selain itu, menurutnya, saat ini terjadi kekeringan dan kondisi pasar daging yang sangat buruk sehingga tidak layak lagi dijadikan tempat berdagang.

“Pengusaha di balik ini sudah tidak layak lagi bangunannya. Saat mau diperbaiki, semuanya roboh. Sekaligus kita terus minta ganti rugi. Kita tidak melihat apa-apa, adil atau tidak? Mereka datang ke sini,” katanya.

“Saya tidak tahu (uang pajaknya dipakai untuk apa). Yang penting pajaknya kita bayar ke Bank DKI. Taruh di Bank DKI,” ujarnya. (FDL/FDL)

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *