Jakarta –
Indonesia seringkali kalah bersaing dengan Vietnam dan beberapa negara tetangganya dalam menarik investor. Contohnya adalah kasus investasi perusahaan teknologi multinasional Amerika Serikat, Nvidia Corporation.
Demikian menurut Penasihat Khusus Presiden bidang Perekonomian dan Pembangunan Nasional, Bambang Brodzonegoro. Padahal pendiri Nvidia Jensen Huang sudah berkunjung ke Indonesia pada November 2024.
Selain Nvidia, Indonesia juga kalah menang atas Apple. Raksasa teknologi asal AS ini juga masuk ke Vietnam dengan nilai investasi sebesar $15,8 miliar atau sekitar $257,54 triliun (Rp 16.300). Lalu apa penyebab Indonesia selalu kalah dalam persaingan?
Peter Abdullah, Direktur Segara Institute, mengatakan ada banyak faktor yang membuat Indonesia kalah bersaing dengan Vietnam dan negara-negara Asia Tenggara lainnya dalam perebutan investasi asing. Yang pertama adalah pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi Vietnam di atas 7% artinya pertumbuhan pasar, kata Peter, Sabtu (11/1/2025) saat dihubungi Deticom.
Yang kedua berkaitan dengan perizinan dan biaya investasi. Menurutnya, Indonesia masih terkendala kesulitan birokrasi dengan biaya tambahan yang tinggi.
“Indonesia masih dilanda kesulitan birokrasi dan biaya tersembunyi,” katanya, seraya menambahkan bahwa harga-harga yang tinggi, dan faktor-faktor lain termasuk lapangan kerja, akses terhadap tanah dan sebagainya.
Bhim Yudhisthira, ekonom dan CEO Center for Economic and Legal Studies (CELIOS), berpendapat bahwa hal pertama yang membuat Indonesia kurang kompetitif adalah perusahaan besar seperti Nvidia atau Apple memerlukan kejelasan hukum. Kata dia, pemerintah terus mengubah aturan.
Padahal, dalam 5 bulan terakhir, pemerintah sudah tiga kali mengubah aturan impor hingga Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 1. 8 Tahun 2024 tentang kebijakan dan peraturan impor. Situasi ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha.
Selain korupsi, ketidakpastian kebijakan juga menjadi salah satu kelemahan Indonesia, kata Bhima. Pada saat yang sama, kepastian peraturan di Vietnam membuat investor nyaman.
Kedua, kebutuhan energi terbarukan di kawasan industri tidak terpenuhi. Vietnam adalah negara yang dengan cepat memperkenalkan energi ramah lingkungan karena kebijakan promosi energinya atau berbagi jaringan transmisi. Sementara itu, pemerintah Indonesia masih terkendala transisi energi sehingga investor di negara maju kurang berminat.
Ketiga, kualitas tenaga kerja Indonesia di sektor teknologi tinggi masih lambat dibandingkan Vietnam. Jika ingin mendirikan pabrik, perlu mencari pekerja terampil, dan pusat pelatihan vokasi tidak memenuhi kebutuhan teknologi tinggi. Perlu adanya sinkronisasi materi pelatihan vokasi di industri, sekolah.
Keempat, dukungan infrastruktur di kawasan industri belum mencukupi dan biaya transportasi di Indonesia tinggi. Menurutnya, kerja sama Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (PEMDA) dapat ditingkatkan, khususnya rehabilitasi fasilitas di kawasan industri yang ada.
“Di Vietnam, pemerintah daerah berlomba-lomba menyediakan ruang industri terbaik,” tambahnya.
Kelima, pemerintah Vietnam memahami dengan jelas bagaimana menaikkan tarif pajak tanpa menaikkan tarif atau menurunkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) secara efektif. Di Vietnam sendiri, tarif PPN yang berkisar 8% menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan asing.
“Vietnam juga akan mendapatkan keuntungan dari relokasi industri saat perang dagang karena kuatnya daya beli masyarakat Vietnam. Di sisi lain, Vietnam akan mengurangi jumlah kementerian dalam upaya mengurangi biaya personel dan biaya birokrasi lainnya.” adalah salah satu yang terburuk di kawasan ini.” (shc/fdl)