Jakarta –

Pasar Tebet Barat merupakan salah satu pusat percetakan di Jakarta, khususnya untuk percetakan undangan pernikahan. Bahkan pada masa jayanya, bidang ini sering mendapat pesanan dari luar negeri. Namun seiring berjalannya waktu, daya tarik industri percetakan di bidang ini semakin memudar.

Kepala percetakan di Pasar Tebet Barat, Geoffrey, mengatakan kawasan itu merupakan salah satu pusat percetakan di Jakarta, bersebelahan dengan Pasar Senen di Jakarta Pusat. Khususnya untuk mencetak undangan pernikahan.

“Pusat percetakannya ada di sini, di Pasar Senen. Tapi sebagian besar yang diundang ada di sini, sebagian lagi masih di Pasar Senen,” kata Geoffrey saat ditemui detikcom, Rabu (1/8/2025).

“Sebenarnya kami menerima pencetakan apa pun di sini, tapi kebanyakan undangan pernikahan,” lanjutnya.

Sayangnya, pria yang sudah 10 tahun bekerja di percetakan itu mengatakan, saat ini pengunjung toko-toko di kawasan itu sangat sedikit. Sebab, kini banyak orang yang lebih memilih menggunakan undangan pernikahan digital atau online dibandingkan undangan fisik.

Ia meyakini tren penggunaan undangan digital dimulai sekitar tahun 2019. Situasi semakin parah pascapandemi Covid-19, karena saat itulah banyak masyarakat mulai beralih ke teknologi digital, termasuk dalam pembagian undangan pernikahan.

“Sebenarnya jumlah undangan mulai berkurang dari tahun 2019. Setelah itu di awal pandemi kita tidak mengadakan acara seperti itu, jadi otomatis kosong,” kata Geoffrey saat ditemui detikcom, Rabu pekan lalu.

Hanya saja di masa pandemi masyarakat menggunakan internet. Semuanya online, semuanya online, dan masih ada. Hanya sedikit orang yang mencetak undangan lagi, tambahnya.

Ia menilai saat ini banyak orang yang lebih memilih undangan pernikahan digital dibandingkan cetakan karena lebih hemat. Untuk membuat undangan digital, Anda hanya memerlukan biaya desain undangan dan setelah itu undangan dapat langsung disebar ke banyak orang.

“Kalau undangannya online, bisa langsung dikirim ke mana saja, jadi bisa menekan biaya pernikahannya kan? Kalau dicetak bisa dibuat sesuai jumlah undangan,” jelasnya lagi.

Akibatnya, jumlah klien yang membuat undangan pernikahan fisik di bidang ini sangat sedikit. Toko Geoffrey belum tentu menerima pesanan bahkan setelah seminggu, meskipun ia bekerja sama dengan beberapa perencana pernikahan untuk meningkatkan peluang pelanggannya.

“Dulu Anda mendapat lima undangan dalam seminggu, sekarang Anda belum tentu mendapat lima undangan dalam sebulan. Terkadang Anda belum tentu mendapatkan waktu luang selama seminggu,” ujarnya.

Kalaupun ada pelanggan yang datang, jumlah undangan yang dipesan saat ini biasanya sangat sedikit. Sebab undangan fisik ini biasanya hanya diberikan kepada para senior atau eksekutif yang membutuhkan “formalitas”.

“Dulu dicetak 1.000 undangan sekaligus, sekarang maksimal 100-200 undangan yang bisa dicetak. Padahal, dalam satu waktu yang dicetak hanya 30 undangan, katanya hanya untuk atasan. kantor,” jelasnya.

Situasi ini menyebabkan omzet percetakan yang didukungnya merosot tajam dibandingkan sebelum dominasi undangan digital. Meski Geoffrey sendiri belum bisa berbicara lebih jauh karena ia tidak memiliki perhitungan akuntansi tertentu.

“Kalau trafiknya turun banyak, mungkin hampir 100%, karena sekarang yang mencetak belum banyak, kalaupun ada, jumlah undangannya tidak banyak,” ujarnya.

Sementara itu, penyedia jasa percetakan pasar Tebet Barat Isdarmadi mengatakan, puncak pencetakan undangan di kawasan itu terjadi pada tahun 2002 hingga 2016. Sejak saat itu, pesonanya berangsur memudar, hingga puncak pandemi Covid-19.

Bahkan pada awal epidemi, ketika kebijakan pemerintah melarang pertemuan atau acara publik, termasuk pernikahan, industri percetakan di wilayah tersebut langsung terpuruk. Termasuk jumlah pesanan cetak dari Malaysia dan Singapura.

“Saya sudah 26 tahun di sini, jadi saya tahu segalanya. Dari 2002 hingga 2016, bisnis di sini sangat bagus. Semuanya jatuh dan turun, hujannya sedikit, hanya saat epidemi paling parah. Makanya saya juga punya liburan panjang, kan?” ujarnya saat ditemui detikcom.

“Dulu ke Malaysia dan Singapura. (Jadi sekarang kami tidak menerima pesanan dari sana?) Sekarang ada satu atau dua, tapi mereka tidak sekaya dulu. Saya hanya seorang pencetak yang menerima pesanan dari sini. . toko di depan saya, beberapa di antaranya adalah pelanggan yang sama “Saya, mereka menerima pesanan. Mungkin masih ada yang berlangganan dari situ,” jelas Isdarmadi lagi.

Akibat berkurangnya jumlah pesanan cetak, pendapatan penjualan Isdarmadi turun signifikan, dari sekitar Rp15 juta seminggu menjadi sekitar Rp3 juta seminggu.

“Dulu dua mesin bersih (pakai) harganya Rp 15 juta. Sekarang harga mobil bersih maksimal 3 juta rupiah. (Dulu bisa pakai dua mobil, tapi sekarang cuma satu, kenapa?) Memang benar waktu itu sedang tutup ya, sedang ada wabah penyakit, hingga akhirnya “Saya pulang kampung, jadi saya jual pesawatnya”, jelasnya.

“(Jadi saya punya dua mobil?) Ya, dulu saya punya dua mobil, enam karyawan, sekarang saya hanya punya satu mobil, usaha saya semakin kecil. Alhamdulillah sekarang sudah mulai berkembang lagi, hanya saja tidak hanya mengandalkan undangan pernikahan seperti kotak-kotak yang mereka cetak, imbuh Isdarmadi.

Untung saja hanya menyediakan jasa percetakan, artinya tidak menerima pesanan langsung, dan tidak hanya mengandalkan pesanan dari toko lokal. Jadi mesin cetak Anda tetap bisa “mengetuk” dan berproduksi.

“Kalimantan, Jambi dan Bengkulu banyak, terutama Makassar. Saya hanya mencetak 21.000 dari Makassar. Masih ada satu atau dua orang yang menghasilkan lebih dari 1000, tetapi jumlahnya sedikit, lebih sedikit dibandingkan di Internet. Oleh karena itu, saya terpaksa menerima, bukan hanya instruksi dari sini, saya harus banyak bergerak,” jelasnya.

Lihat juga videonya: ALLPrint Expo 2024 mendorong inovasi untuk pengembangan industri percetakan

(fdl/fdl)

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *