Jakarta –

Masalah dengan jembatan menara di Indonesia berlanjut di pusat perhatian. Presiden Masyarakat Transportasi Indonesia (MT) Dewan Profesional dan Etika, Agos Tafic Moluno, telah berlangsung lama, bahkan dari waktu yang baru, dan sejauh ini masih merupakan masalah besar

“Dari era baru hingga pemerintah saat ini, penimbangan masih menjadi masalah,” kata Agos, di Jakarta.

Agos menjelaskan bahwa ada tiga faktor utama yang membuat jembatan di Indonesia tidak ada pilihan. Pertama, posisi yang tidak pantas dari tempat penimbangan. Menurutnya, aliran berat saat ini tidak mempertimbangkan pemetaan yang tepat seperti program komersial, logistik dan transportasi. Menurutnya, tempat penimbangan harus didasarkan pada distribusi barang yang jelas.

“Tempat penimbangan saat ini tidak memiliki pemetaan yang baik, seperti dari mana asalnya dan tujuannya,” kata Agos.

Menurut AGOS, masalah lain adalah angkat besi yang sekarang berada di jalan dengan kelas yang berbeda, yang membuat pengawasan berat dari kendaraan yang ideal. “Jalan panjang dengan kelas yang berbeda sangat berbahaya karena kendaraan yang melanggar aturan dapat melarikan diri dengan cara ini,” katanya.

Masalah kedua untuk kenaikan berat badan yang efektif adalah masalah tingkat ilegal. Asalkan metode pemerasan dihilangkan, keberadaan jembatan penimbangan tidak akan berfungsi dengan baik, kata Agos.

“Jika pemerasan tidak berakhir, jembatan ini tidak akan efektif,” katanya.

Pakar Kebijakan Umum Universitas Tisakti, Truus Rahadiansyah, menambahkan bahwa pertimbangan infrastruktur di Indonesia masih sangat terbatas dan belum mengalami teknologi pembaruan. “Selain infrastruktur yang tidak memadai, pemantauan minimum juga meningkatkan jumlah metode korupsi dan tidak ada tindakan yang jelas,” kata Trubus.

Pengamat lain dari kebijakan publik Agos Pambagio setuju. Menurutnya, masalah kenaikan berat badan di Indonesia tidak terpisah dari masalah unik korupsi dan pemerasan. “Karena masih ada korupsi dan pemerasan, kebijakan apa pun tidak akan berhasil meningkatkan bobot,” kata Agos.

Bambang Harryo Sokartono, anggota Komite VII dari faksi Gerindra, telah menyatakan pentingnya peningkatan berat badan. Masalah terbesar adalah HRR (HR), yang mengelola banyak bobot dan peralatan yang telah rusak, menurut Mombang.

“Dari 141 jembatan dengan bobot di seluruh Indonesia, mereka hanya bekerja 25 jam dan bukan 24 jam. Jadi, jika aksinya terbatas, bagaimana kita bisa menerapkan ODOL (setelah beban) dengan serius?” Dia bilang Bu Bang.

Studi Universitas Gadjeh Mada (UGM) pada tahun 2020 juga menunjukkan beberapa masalah penimbangan. Ini termasuk desain geometris akses jembatan dan kapasitas berat yang terbatas.

Selain itu, banyak jembatan penimbangan yang tidak memiliki area tempat tinggal yang cukup untuk akomodasi barang inspeksi truk. Ini bisa menjadi masalah besar, terutama jika barang mudah terpengaruh atau terbatas.

“Jika produk ini mudah membusuk, misalnya, sayuran atau makanan, tidak ada penyimpanan yang baik untuk merusak pemilik produk.”

Tak perlu dikatakan, fenomena angkat besi, yang berbahaya bagi pengemudi truk dan penulis logistik lainnya.

Dengan berbagai masalah ini, sektor transportasi dan logistik Indonesia masih menghadapi tantangan besar untuk mengatur antusiasme. Jika tidak terselesaikan segera, masalah ini masih akan menyulitkan untuk memindahkan barang dan persediaan, yang pada gilirannya akan berdampak pada efisiensi ekonomi nasional.

Resolusi korupsi, korupsi, dan masalah infrastruktur yang tepat adalah kunci yang paling penting, sehingga jembatan penimbangan Indonesia dapat bekerja secara ideal dan mendukung kelembutan logistik di seluruh negeri. Tonton film “Park Park for Extortion in Tourist Atraksi” (RRD/RIR)

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *