Jakarta –
Akhir tahun 2024 akan menjadi tonggak sejarah dengan diberlakukannya larangan penggunaan bisphenol A (BPA) pada kemasan makanan dan minuman di 27 negara anggota Uni Eropa (UE).
Pada 12 Juni 2024, negara-negara anggota Uni Eropa secara resmi menyetujui pelarangan penggunaan BPA dengan masa transisi yang singkat bagi industri untuk beradaptasi, yakni antara 18 hingga 36 bulan.
Peraturan mengenai BPA di UE secara bertahap berubah dari larangan awal, diperkuat hingga larangan akhir untuk melindungi kesehatan masyarakat. Pada tahun 2011, peraturan pengemasan BPA diperketat karena perlunya penilaian keamanan dari Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) sebelum digunakan.
Kemudian, pada tahun 2018, aturan tersebut kembali diperketat dengan melarang penggunaan BPA pada botol dan kemasan plastik untuk bayi dan anak di bawah tiga tahun. Pada tahun 2020, larangan ini diperluas ke penerimaan kertas termal.
Dari tahun 2021 hingga 2023, penelitian baru menunjukkan adanya risiko BPA terhadap sistem kekebalan tubuh, sehingga pada tahun 2024 UE akhirnya menyetujui peraturan yang melarang kemasan BPA mulai akhir tahun demi keselamatan konsumen.
Lalu bagaimana di Indonesia? Akankah UE berdiri teguh untuk melindungi kepentingan kesehatan masyarakat?
“Karena kita tahu BPA itu berbahaya, kita harus tegas ya, kita harus bebas BPA,” kata Sekjen Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr Ulul Albab, SpOG, melalui keterangan tertulis, Rabu (27/1). 2020). 27). 11/2024).
Sementara di Indonesia, BPOM hingga kini masih bersikap toleran, hanya mewajibkan pelaku industri air minum dalam kemasan (AMDK) untuk membubuhkan label peringatan BPA pada wadah plastik polikarbonat ukuran galon yang dapat digunakan kembali. Hal itu ditegaskan dalam Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Pelabelan Pangan Olahan. Namun hal ini dianggap sebagai langkah awal yang baik jika melihat aturan negara lain yang awalnya dibatasi, diperkuat, dan akhirnya dilarang.
“Kami (IDI) sebenarnya sudah memberikan beberapa rekomendasi: Kami mendorong masyarakat untuk memberi tahu masyarakat mengapa harus bebas BPA. Artinya melarang penggunaan bisphenol A. Kita tidak hanya berbicara tentang air minum dalam kemasan, tetapi juga tentang produk atau wadah atau kemasan apapun yang berhubungan dengan BPA,” kata Dr Ulul.
“Karena kita tahu ada alternatif pengganti BPA,” imbuhnya.
Dr Ulul menyambut baik langkah BPOM yang mengeluarkan beberapa aturan penggunaan label peringatan BPA pada kemasan pangan. Dengan adanya pelabelan ini, kata dr Ulul, ada langkah-langkahnya karena belum pernah diterapkan.
“Harus kita dukung. Kita berharap rambu itu tidak hanya memberi informasi, tapi juga melarang, sehingga kita tidak kompromi lagi,” kata dokter spesialis kebidanan dan kandungan itu.
Sementara itu, pakar polimer Universitas Indonesia Profesor Dr. Mochamad Chalid mengatakan permasalahan bahan kimia berbahaya dalam kemasan plastik bagi manusia dan lingkungan telah menjadi masalah global. Profesor Chalid juga mengatakan, kandungan sampah plastik yang disebut dengan zat aditif, atau juga keluarannya seperti BPA, kini menjadi sorotan dunia.
“Dalam hal ini akibat penggunaan air minum kemasan, (potensi pelepasan BPA) sangat tinggi. Hal ini telah dibuktikan oleh ratusan jurnal yang menunjukkan bahwa kemasan ini merupakan polutan yang signifikan,” kata Profesor Chalid.
Perlu diketahui bahwa keputusan UE untuk melarang penggunaan BPA juga merupakan masalah penelitian dan identifikasi yang dilakukan oleh EFSA. Larangan ini berlaku untuk berbagai macam produk, termasuk bahan kemasan makanan, seperti lapisan pelindung pada kaleng logam, serta barang konsumsi seperti peralatan dapur, peralatan masak, dan botol minuman plastik.
(acd/acd)