Jakarta –
Alergi susu sapi (CASS) masih menjadi tantangan kesehatan yang signifikan, terutama pada bayi dan anak kecil.
Berdasarkan data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), prevalensi ASD di Indonesia berkisar antara 2 hingga 7,5 persen. Dengan jumlah anak balita yang mencapai kurang lebih 21 juta jiwa, berarti sekitar 420.000 hingga 1,575 juta anak Indonesia berpotensi mengalami alergi susu sapi.
Dokter spesialis alergi dan imunologi anak, Prof. Dr. Budi Setiabudivan, SPA(K), M Kes menjelaskan, kondisi tersebut disebabkan oleh protein pada susu sapi, seperti kasein dan whey, sehingga menimbulkan reaksi alergi pada anak.
Alergi susu sapi akan berkurang seiring bertambahnya usia anak, ujarnya saat ditemui di Jakarta Selatan, Kamis (12/12/2024).
Profesor Budi mengatakan, penting bagi orang tua untuk mengetahui apakah anaknya alergi susu sapi atau tidak. Hal ini dapat dideteksi dari beberapa gejala yang muncul.
Gejala alergi susu sapi bisa ringan hingga berat, dan bisa muncul dalam hitungan menit hingga beberapa jam setelah mengonsumsi susu sapi atau produk susu sapi. Berikut gejalanya: gejala saluran cerna seperti diare dan nyeri, gejala kulit seperti urtikaria (gatal-gatal) dan dermatitis atopik (eksim), gejala pernafasan berupa asma dan rinitis, gejala umum seperti anafilaksis atau reaksi berat yang terjadi secara tiba-tiba.
“Jika ada dugaan anak alergi terhadap protein susu sapi, kita perlu mendeteksinya sedini mungkin. Jika terdeteksi sedini mungkin, kita akan mengobatinya sedini mungkin agar anak bisa tumbuh dan berkembang lebih baik. . lanjutnya.
Namun Profesor Budi mengatakan, alergi susu sapi biasanya menyerang anak-anak yang memiliki alergi atau disebut dengan atopi. Bakat alergi ini biasanya diturunkan dari salah satu atau kedua orang tuanya. Simak video “Video: IDAI Sebut Anak Obesitas Bukan Berarti Sehat” (suc/suc)