Jakarta –
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengatakan hal itu setelah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dari semula 11 persen. sampai 12 persen, hanya tambahan harga tidak sampai 1 persen. Lebih tepatnya, kenaikan harga bagi konsumen hanya sebesar 0,9%.
“Kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% hanya menyebabkan tambahan 0,9% dari harga bagi konsumen,” DJP pun memberikan rumus penghitungan klaim pada Sabtu (21/12/2024):
Selisih harga baru dan harga lama dibagi harga lama dikali 100%. (Harga lama dengan PPN 2024 sebesar 11% dan harga baru dengan PPN 2025 sebesar 12%) DJP memberikan contoh perhitungannya:
Sekaleng soda harganya Rp 7.000. Saat ini, 11 persen masih aktif. PPN, akan dikenakan biaya tambahan sebesar Rp 770 jika total harga sekaleng soda adalah Rp 7700.
Jadi kalau PPN dinaikkan menjadi 12%, maka akan ada tambahan Rp 840.
Jika dihitung dengan rumus di atas, selisih harga hanya 0,9%.
Sedangkan untuk inflasi, menurut perhitungan pemerintah, inflasi saat ini rendah yaitu 1,6 persen. Dampak kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% akan dibatasi hingga 0,2%.
“Inflasi sesuai target APBN tahun 2025 akan tetap rendah pada kisaran 1,5%-3,5%. Dengan demikian, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% tidak akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat secara signifikan,” DJP kata laporan.
Melihat kembali ke tahun 2022. April 1 Kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% juga tidak menyebabkan lonjakan harga barang/jasa dan penurunan daya beli masyarakat. Mengingat masa kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022, dampaknya terhadap inflasi dan daya beli tidak akan terlalu besar.
Laju inflasi akan mencapai 5,51 persen pada tahun 2022, namun hal ini terutama disebabkan oleh tekanan harga global, gangguan pasokan pangan, dan kebijakan penyesuaian harga bahan bakar akibat meningkatnya permintaan masyarakat pasca pandemi COVID-19. Tingkat inflasi akan mencapai 2,08 persen pada tahun 2023-24. (RS)