Jakarta –
Deputi I Bidang Ketersediaan dan Keberlanjutan Pangan Bapanas, Gusti Ketut Astava meminta Bulog turun tangan melalui Program Stabilisasi Harga dan Pasokan Pangan (SPHP) untuk wilayah Papua dan Maluku. Hal ini untuk meredam kenaikan harga beras di wilayah tersebut.
Ketut mengatakan, untuk melaksanakan intervensi tersebut, Bulog Bapanas sebaiknya fokus pada website Panel Harga Pangan untuk menentukan daerah mana yang memerlukan intervensi sehingga intervensi yang dilakukan tepat.
“Daerah mana yang lebih merah itu yang utama Bulog. Misalnya Papua merah semua. Jadi tujuan utamanya kalau di daerah lain, misalnya 1000 ton, maka luasnya bisa dua kali lipat. Jadi kita bisa mempercepat penurunan harga di wilayah Papua,” kata Ketut, Selasa (14/1/2025) pangan beras kelas konsumen 2025. sosialisasi pelaksanaan stabilisasi pasokan dan harga (SPHP). – kata dalam diskusi.
Sementara itu, Ketut mengatakan pihaknya akan mengunjungi wilayah Papua dalam waktu dekat dan kemudian melakukan intervensi melalui SPHP Bulog Beras.
“Setelah itu kita akan bor grafik lainnya untuk memastikan kita bisa menurunkan rata-rata harga beras di wilayah Papua. Itu yang sedang kita lakukan,” ujarnya.
Ketut juga meminta Dinas Ketahanan Pangan Pemda proaktif memantau kondisi terkait harga beras. Jika dirasakan ada kenaikan harga yang signifikan, maka diperlukan koordinasi dengan Bulog untuk melakukan intervensi SPHP beras.
Namun, Ketut mengingatkan, harga eceran tertinggi (HET) beras SPHP tidak boleh melebihi Rp 12.500/kg.
“Ini beras pemerintah. Wajib menerapkan HET setelah beras pemerintah. Dan kalau dilanggar ada sanksinya. Jadi kalau ada beras SPHP yang dijual pedagang lebih banyak dari HET. Langkah pertama dihentikan. Yang kedua Bulog atau Ini poin penting untuk dilaporkan ke Satgas, ini harus kita sepakati, sehingga SPHP beras di atas HET tidak akan dijual,” ujarnya. .
Maino Dwi Hartono, Direktur Pasokan Pangan dan Stabilitas Harga Bapnas, mengatakan tingginya harga beras di Papua, Provinsi Maluku disebabkan oleh tingginya biaya transportasi, terbatasnya infrastruktur di wilayah tersebut, dan distribusi yang tidak merata. area produksi.
Misalnya saja di wilayah Merouke, Papua Selatan, yang merupakan wilayah perkebunan dan produksi yang luas. Namun biaya pengirimannya lebih tinggi dibandingkan wilayah lain di Indonesia.
“Wilayah Papua sangat luas dan tidak semuanya bisa dijangkau dengan transportasi darat. Untuk mengirim barang antar kabupaten harus menggunakan pesawat dan harganya pasti lebih mahal,” ujarnya (kil/kil)