Jakarta –

Pemerintah Subinno Prabovo menargetkan tiga juta program rumah, termasuk 2 juta rumah di daerah pedesaan dan di 1 juta daerah perkotaan, orang dengan orang kecil (MBR).

Kehadiran program ini telah menerima umpan balik yang baik dari berbagai bagian. Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia masih memiliki kurangnya 10 juta rumah atau penundaan perumahan, terutama untuk keluarga dengan pendapatan sedang dan rendah.

Namun, Economist for Bank Temple (Parsero) adalah kepala TBK. (BMRI) Andre Asmoro menyadari program ini, pemerintah tentu akan menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah akses ke kredit untuk kepemilikan rumah.

“Tantangan dalam mencapai tujuan memenuhi kebutuhan perumahan adalah perbedaan dalam masalah keuangan. Banyak keluarga kurang bersatu atau akses ke kredit untuk mendapatkan rumah,” kata Andrew “Tempat Perumahan: untuk menawarkan tempat berlindung.” Sesi Diskusi di Mandiri Investment Forum 2025, Selasa (22/11/2025).

Sementara itu, Komisaris BP Tapera, Heru Pudio Nurgoro, kehadiran program tiga juta rumah adalah solusi untuk menanggapi kebutuhan perumahan, sehingga semua orang dapat mencapai perumahan.

“Kami masih dikaitkan dengan penundaan perumahan. Ada 9,9 juta penundaan di rumah. Lalu ada 26,9 juta keluarga yang tinggal di rumah yang tidak tepat. Dan 4,5 juta keluarga tidak memiliki rumah dan tidak tinggal di – rumah tunawisma,” dijelaskan.

Namun, keberadaan kesenjangan keuangan untuk pekerja maju, di sektor informal, adalah tantangan untuk menyelesaikan pemerintah. Menurutnya, sektor ini membutuhkan rencana keuangan, sehingga program bekerja dengan baik.

“Pekerja pendapatan non -konstan juga merupakan tantangan. Dan ini merupakan tantangan bagi kapasitas perbankan dari sektor informal,” jelasnya.

Pada saat yang sama, Joko Surato, real estat real estat presiden (REI), Joko Suranto memutuskan bahwa data nyata yang terkait dengan sektor perumahan diperlukan untuk melaksanakan tiga juta program rumah.

“Di Indonesia, tidak ada data besar pada perusahaan saat ini. Jika data tidak final dan dapat diandalkan, tahap kedua akan sulit untuk menyiapkan panduan itu sendiri,” katanya.

Kemudian, Joko mengatakan bahwa sektor lisensi masih menjadi masalah bagi pengembang. Selain itu, ia memutuskan bahwa keuangan di sektor keuangan harus ditingkatkan.

“Yang perlu kita ketahui adalah bahwa sektor informal sangat besar, tetapi belum menemukan akomodasi yang memadai di sektor perbankan. Kemarin kami mendorong setidaknya 10% dari FLPP di sektor informal.”

“Kami selalu mendorong tim tenaga kerja untuk menempatkannya di bangku di Indonesia, sehingga dapat mendorong masalah likuiditas finansial,” katanya.

Demikian pula, Bank Dunia Claudia Inskwez Sourge di Indonesia dan Timore Leste Leader telah mengungkapkan bahwa tiga juta rumah adalah solusi untuk kurangnya persyaratan perumahan Indonesia. Namun, status orang rendah juga harus menjadi perhatian.

“Tantangannya adalah bahwa kita harus berurusan dengan kelompok -kelompok spesifik yang rendah, dan beberapa hal harus ditingkatkan,” katanya.

“Saya pikir itu berjalan dan mengembangkan perangkat baru untuk meningkatkan (program) untuk mengimbangi (program).” (AKN/ECO)

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *