Bandung —
Suasana sepi terdapat di Teras Cihampelas, kawasan pejalan kaki terpanjang di Kota Bandung. Tempat ini pernah menjadi ikon pariwisata pada masa Walikota Bandung Ridwan Kamil.
Namun kondisi Teras Cihampela saat ini sangat memprihatinkan. Saat ini keadaannya kumuh, banyak aksi vandalisme, dan bau pesing bisa menggigit hidung saat berjalan-jalan.
Pada era Ridwan Kamil, skywalk yang dibuka pada tahun 2017 ini memiliki panjang sekitar 450 meter dan menjadi kawasan perbelanjaan wisata sehingga mendongkrak potensi PKL di kawasan Jalan Cihampela.
Lokasi ini dibuat sebagai solusi organisasi pedagang kaki lima yang sudah memenuhi pinggir jalan di bawahnya.
Namun, kerumunan di Teras Cihampela hanya berumur pendek. Selain itu, saat topan COVID-19 melanda, tempat tersebut menjadi tidak aktif dan para pedagang pun pergi.
Namun saat ini masih ada beberapa penjual yang tetap membuka rumah di Teras Cihampelas. Meski sudah banyak penjual yang meninggalkan tempat ini.
Kepada tim DetikJabar, para pedagang yang masih berjualan mengeluhkan sepinya pengunjung. Dulunya ramai dikunjungi wisatawan, namun kini Teras Cihampela seakan mulai terlupakan. Keadaan ini berdampak pada pendapatan mereka yang semakin hari semakin berkurang.
“Sekarang sepi, hanya beberapa lapak yang buka,” kata Jasmiati (53), salah satu pedagang di Tera Cihampela, Selasa (22/10).
Saat ini, hanya ada delapan pedagang yang masih membuka tokonya. Seperti yang bisa kita lihat, kedelapan pedagang ini menjual makanan dan minuman. Jasmiati adalah salah satunya.
Jasmiati menuturkan, ia sudah lama menggeluti bisnis makanan dan minuman di kawasan Chihampela. Awalnya dia adalah seorang pedagang kaki lima. Namun pada tahun 2017 ia pindah ke Teras Cihampelas karena mengikuti aturan.
Saat pertama kali dibuka, Jasmiati mengatakan Teras Cihampela sangat ramai dikunjungi wisatawan. Faktanya, dia menghasilkan jutaan dolar setiap hari pada saat itu. Namun kini Jasmiati hanya dapat ratusan ribu karena Teras Cihampela sepi.
“Dulu sehari 4-5 juta riyal, siang hari hampir ludes, sekarang maksimal 300 ribu rubel, diam,” ujarnya.
Tak hanya sepi pengunjung, Teras Cihampela pun terlihat kumuh dan rusak di banyak tempat. Beberapa lampu sudah tidak berfungsi lagi dan tanaman yang menghiasi tempat itu terlihat layu dan tidak terurus.
Ia mengaku sedih dengan kondisi Teras Cihampela saat ini. Menurutnya, tempat tersebut boleh dikunjungi dan harus ramai dikunjungi termasuk wisatawan yang datang ke kawasan Chihampela.
Seperti diketahui, pada bulan Oktober 2023 lalu, Pemerintah Kota Bandung menghidupkan kembali Teras Cihampelas dengan membuka kawasan baru yaitu kawasan fashion show di Area A, kawasan kecil di Area B, kawasan pejalan kaki di Area C, dan kawasan kecil di Kawasan B. . D.
“Sayang sekali, itu tempat menginap yang bagus, tidak mahal, berkelas. Bagus dan menyenangkan, tapi apa gunanya kalau menyenangkan dan tidak dimainkan,” kata Jasmiati.
Jasmiati menilai sepinya Teras Cihampela salah satunya disebabkan banyaknya pedagang yang berpindah. Sejak adanya pandemi COVID-19, para pedagang mulai turun dari Teras Cihampela dan kembali berjualan di trotoar di bawahnya. “Kenapa sepi karena penjualnya turun lagi,” ujarnya.
Begitu pula Yayat, 48, penjual tas mewah yang kini berjualan di Jalan Cihampela. Yayat mengaku sudah lama merantau setelah menjual Teras Cihampelas. Yayat mengatakan sepinya pengunjung menjadi alasan dia pindah.
“Saat pertama kali dibuka perdagangannya tadi, ditutup karena ada virus corona. Baru tahun 2022 kemarin diperdagangkan lagi, tapi dipindahkan ke bawah karena sepi (di atas),” kata Yayat.
Meski turun, Yayat mengatakan pengunjung di kawasan Chihampela sepi. Menurut Yayat, penurunan kehadiran itu disebabkan banyak hal, salah satunya kurangnya lahan parkir.
“Susah berhenti di sini, jadi makin sepi, dulu jalan Cipaganti dua jalan, sekarang cuma satu jalan, jadi makin dingin.” Dulunya yang mau ke Lembang menginap di sini, tapi sekarang. tidak ada apa-apa,” tutupnya.
——-
Artikel ini muncul di detikJabar. Tonton video “Video: 5 Mobil Tertimpa Pohon Tumbang di Cisadea Bandung, Ibu dan Anak Terluka” (wsw/wsw)