goyalorthodontics.com – Adapun Ramadhan, ini banyak ibadah. Namun, di distrik Gayamsar Semarang, Jalan Kaligawe Raya sebenarnya adalah tanda kedatangan musim bentrokan.
Wisnu Indra Kuma, Laporan Semarang
Baca juga: Perang Sarong menghentikan kematian
Kebisingan kebisingan terganggu oleh kenyamanan pencairan. Penjual beras Rama segera menghambat pelanggan yang ingin memakan fajar mereka yang terlindung.
Seorang wanita 60 tahun yang sangat menyadari bahwa kebisingan itu berasal dari remaja. Perang massal termasuk remaja dari desa Tambakreo dan desa Kaligewe.
Baca juga: 2 orang menerima tersangka untuk masalah pertempuran,
Lelucon sering menyaksikan bentrokan itu. Kios -kios itu terletak di jalan Pantura, tepat di depan gerbang desa Karang Kimpuli di desa Kaligawe.
Pada awal Ramadhan, 1443 Hijri terakhir adalah seorang pemuda dari dua desa. Kekacauan yang dimulai pada hari Sabtu (2/4) sore berlanjut hingga Minggu (3/4) pagi -pagi sekali.
Baca juga:
Molten mengatakan di atmosfer bahwa malam itu begitu tegang. Tubuhnya langsung timpang.
Ketakutan dan kekhawatiran, Sulasih berani melihat kesenjangan kiosnya. Dia juga lemah ketika dia melihat lusinan remaja diikat dengan senjata tajam.
“Saya gemetar (gemetar, merah) kemarin, sebagian besar anak -anak adalah janggut. Sebagian besar anak -anak. SIRP tinggi, ada orang -orang yang membawa MacHery,” kata Sulasih baru -baru ini di tengah JPN.
Susih terus memantau atmosfer di depan kiosnya. “Alhamdulillah, tidak ada pendarahan,” tambahnya.
Satu demi satu, ada remaja yang masih dianggap di sekolah menengah.
Namun, pencairan menutup pintu dengan erat.
“Saya sudah memberi tahu klien bahwa makanan itu terbuka, tetapi karena ada pertengkaran, saya takut,” katanya.
Memang, momentum Ramadhan sering digunakan oleh remaja yang hidup di dekat banjir timur untuk menunjukkan kehadiran. Namun, remaja memilih ekspresi.
Mereka tidak bertindak dengan tangan telanjang. Banyak dari mereka memasok diri mereka dengan senjata tajam, seperti mesin, mencicit, cambuk, dan bahkan balok kayu dan besi yang panjang lapar.
Salah satu populasi, Thoik, mengatakan bahwa pukulan ini selalu terjadi sebelum Ramadhan dan kuman. “Tahun setahun harus tajam, harus selama puasa dan liburan,” katanya.
Seorang pria yang sangat berusia 68 tahun menjelaskan bahwa guncangan sering terjadi setelah Tambakreo dan Caligewe masih menjadi milik desa Mukharjo, Distrik AluK. Namun, kedua desa itu dibagi menjadi desa mereka pada tahun 1976.
“Sejak tahun 1975 telah (bentrokan). Daerah di sini lebih nyata, imigran takut di sini, isi dampaknya terus berlanjut,” kata Thoik.
Penduduk Hermawan (48) lainnya mengatakan dia adalah cerita dari ayahnya bahwa orang -orang di daerah itu sering tawur selama Ramadhan dan pada malam hari selama Takbiran.
Geng -geng dari kedua desa belum berakhir. Selalu ada perselisihan yang menyebabkan tembakan, bahkan menyebabkan pendarahan dan kematian.
“Waktu -dari waktu ke waktu. Setiap hari, Ramadhan harus bentrokan pada hari pertama,” katanya.
Hermawan menjelaskan bahwa orang -orang yang terlibat dalam bentrokan di antara desa -desa bukanlah remaja. Menurutnya, generasi saat ini di kedua desa hanya melanjutkan kebiasaan pendahulunya.
Dia terkejut dengan kebingungan yang berulang kali diulang tanpa kejelasan masalah yang disebabkan. “Berjuang untuk kekuatan satu sama lain seperti tempat parkir dan yang lainnya,” katanya.
Kekhawatiran Hermawan meningkat karena pemerintah akan mengizinkan warga negara untuk pulang ke rumah. Dia khawatir malam Takbiran mengalami bentrokan besar -besaran.
“Jika tenang nanti, jika Takbiran, tunggu saja, harus ada pertengkaran,” katanya.
Hermawan mengatakan pukulan terkuat yang dia tinggali adalah di depan Presiden Soharto.
“Ini (bentrokan) sejak waktu saya ada, jelas sedikit waktu,” katanya.
Oleh karena itu, Hermawan berharap bahwa para pemimpin masyarakat setempat akan mengatur pertemuan dengan pemerintah dan polisi untuk membahas bagaimana menghindari konflik antara desa -desa yang tidak muncul.
“Setidaknya ada pos keamanan yang dijaga oleh polisi dan karakter yang duduk bersama,” katanya.
Polisi sebenarnya telah melakukan upaya pencegahan. Polisi akan terus berkoordinasi dengan kepala desa setempat dan di bawah -leader.
“Kami serius, tidak menyebar di mana -mana,” kata Kepala Polisi Gayamsar Hangky Prasesetyo.
Polisi tidak harus bersalah atas bumper remaja. Karena polisi memutuskan untuk mengembalikan masalah dengan keadilan restoratif.
“Tidak ada korban. Kami masih memiliki efek peringatan, tetapi tidak diproses oleh hukum,” kata Kasas Rescjo Polrrebes Semarang Akbp Donny Sardo Lumbantoru. (Mcr5/jpnn)