goyalorthodontics.com, Jakarta -MPR Anggota Al Hidaya Samsu mengingat kebijakan Amerika Serikat (AS) menaikkan tarif impor untuk produk dari berbagai negara, termasuk Indonesia.
Anggota MPR dari kelompok DPD mengatakan kebijakan sepihak akan mengancam ekonomi Indonesia.
Baca juga: Sri Mulani segera bertemu dengan Menteri Keuangan Tiongkok setelah menegosiasikan tarif AS, ada apa?
Di antara ketidakpastian ekonomi global dan tekanan tarif yang diberlakukan oleh AS, Indonesia harus menulis kembali kekuatan historis negara ini.
“Pada abad ke -16 dan ke -17, orang -orang Indonesia menunjukkan komitmen mereka terhadap kebebasan perdagangan dan toleransi,” kata Al Hidaya Samsu dalam pernyataan tertulisnya pada hari Selasa (6/5).
Baca Juga: Airlangga Show Menjadi Tarif Negosiator AS, Memuji Prabowo
Senator dari Sulawesi selatan kemudian menyebutkan pernyataan Sultan Alaudin dari Makassar yang diterbitkan dalam Book of Anthony Reid, terutama Asia Tenggara pada usia 1450-1680 ‘yang diterbitkan oleh Yale University Press 1988 dan 1993, dengan buku’ Nusantaria: Asia Tenggara Asia maritim ‘oleh Philip Bowring’.
Dalam pernyataannya, Sultan Alaudin dengan bijak menekankan bahwa ‘Tuhan menciptakan Bumi dan Laut. Tanahnya didistribusikan kepada orang -orang, dan laut diberikan bersama. Dia belum pernah mendengar bahwa seseorang harus dilarang berlayar ke laut ‘.
Baca Juga: Balas Tingkat Perang Santai Kepada Kami Dibandingkan Dengan China, Bahlil: Tidak Seperti Dunia Ingin Akhir
“Pernyataan ini mencerminkan prinsip -prinsip dasar Indonesia yang tidak hanya mempertahankan kebebasan dan perbedaan, tetapi juga menegaskan nilai perdagangan yang adil,” kata Al Hidaya Samsu.
Namun, ia melanjutkan, pada saat ini warga negara Indonesia kembali menghadapi kuis besar dalam bentuk kebijakan tarif yang berat. Pemerintah AS di bawah kebijakan yang diluncurkan oleh Presiden Donald Trump, yang mengenakan tarif tinggi, dapat mencapai hingga 47 persen dari banyak barang Indonesia, termasuk pakaian, sepatu, dan kain.
Sekali lagi, Hightat menekankan, kebijakan tersebut memiliki dampak serius pada ekspor Indonesia, dan pada gilirannya, ancaman kehidupan ribuan pekerja di Indonesia.
Menurut Al Hidayat, pemerintah mengirim delegasi yang diketuai oleh koordinasi Menteri Ekonomi dan Menteri Keuangan Airlangsang Hartarto Sri Mulani untuk berorganisasi di Amerika Serikat yang mencari tarif tinggi yang dilaksanakan oleh AS.
Sayangnya, hasil Majelis tidak memberi orang -orang Indonesia.
Meskipun ada sedikit harapan bahwa beberapa produk superior Indonesia akan mengenakan biaya lebih kompetitif, kebenarannya tidak mudah.
“Sebagai langkah konkret dalam mendengarkan suara -suara rakyat, seminggu yang lalu, sebelum Hari Buruh, saya memimpin Komite Konferensi Jalan DPD III yang mendengarkan langsung pengaduan dan mengandalkan Uni All Indonesia,” jelasnya.
Pertemuan itu menjadi forum bagi pekerja untuk mengekspresikan perasaan mereka tentang ancaman akhir massa dan dampak serius pada kebijakan tarif ini.
Seperti yang diketahui, sektor buruh merupakan bagian integral dari Yayasan Ekonomi Indonesia.
“Sudah waktunya bagi pemerintah untuk mendengar suara -suara itu,” jelasnya.
Al Hidayat menekankan bahwa ini penting untuk dilakukan karena, intensitas ini memiliki dampak langsung yang harus dihadapi orang, terutama ancaman akhir massa.
Menurut data yang dikombinasikan dengan Pusat Ilmu Ekonomi dan Hukum (Celios) pada tahun 2024, diperkirakan sekitar 1,2 juta pekerja Indonesia akan kehilangan pekerjaan karena dampak tinggi tarif AS.
Sektor yang paling terpengaruh adalah industri tekstil dan produk tekstil (TPT), dengan lebih dari 191.000 pekerja dan kerugian yang mengancam dalam mata pencaharian mereka.
Selain itu, sektor lain seperti industri makanan dan minuman dan petani yang menyediakan bahan baku juga akan mengalami efek samping.
Al Hidaya sangat menyesal atas negosiasi yang dilakukan oleh pemerintah belum memberikan hasil yang signifikan dalam melindungi industri dalam negeri Indonesia.
Negara -negara besar seperti AS harus berperan dalam menciptakan perdagangan yang lebih diinginkan dan saling menguntungkan.
Namun pada kenyataannya, aturan tersebut benar -benar mempromosikan ketidakpastian ekonomi yang lebih dalam untuk Indonesia.
Selain itu, sektor informal, yang memiliki tulang belakang bagi sebagian besar warga negara Indonesia, juga akan merasakan dampak langsung dari kebijakan ini.
Pemerintah harus memprioritaskan perlindungan untuk pekerja sektor informal, selain sektor formal yang paling terlihat.
“Di mana arah kebijakan pemerintah dalam melindungi rakyatnya? Apakah kita terus mendapatkan kebijakan kebijakan perdagangan utama yang seringkali tidak mendukung negara -negara berkembang seperti Indonesia?”
Al Hidayat menekankan bahwa negara ini tidak hanya diharapkan dalam negosiasi untuk negosiasi yang tidak menghasilkan hasil nyata bagi perekonomian.
Di masa depan, Indonesia harus menemukan cara yang antusias untuk memulihkan kedaulatan ekonomi Indonesia.
Jangan biarkan kebijakan luar negeri tidak mendukung orang -orang yang terus mengancam masa depan negara dan negara.
“Mari kita sekali lagi biarkan semangat kebebasan dan perdagangan yang diwarisi oleh leluhur kita, dan mengingat janji negara ini berdiri di atas di tengah -tengah dunia yang berubah. Perjuangan untuk Indonesia lebih kuat dan lebih awal,” pungkasnya. (MRK/JPNN)